Sosial Versus Ekonomi

Author: ICAL KARIM / Labels: ,

Ada semacam persaingan terselubung antara Ekonomi dan Sosial, dua kata yang bisa merujuk pada praksis keseharian manusia dan juga pada ranah keilmuwan modern dewasa ini. Secara ontologis, dua ranah keilmuwan ini lahir dari rahim tradisi positivistik Barat yang sama. Namun dalam perjalanannya, keduanya memilih untuk berpisah jalan dari segi epistemologis dan aksiologis. Ranah Keilmuwan Sosial lebih dinamis dengan munculnya wacana-wacana narasi kecil yang semakin mewarnai wilayah epistemologisnya. Sedangkan Ekonomi dengan angkuh tetap memegang teguh tradisi positivistik dalam wilayah epistemologisnya sehingga ekonomi dapat mengklaim sebagai empunya kuasa akan representasi realitas di masyarakat. Realitas yang oleh Ekonomi dapat dengan mudah direpresentasikan dalam bentuk tabulasi angka statistik-matematis yang rumit.

Ekonomi yang pada awalnya sebenarnya termasuk domain dari keilmuwan Sosial lambat laun bertendensi untuk keluar dari ranah tersebut dan membangun wilayahnya sendiri. Dengan adagium Economics for economics, Ekonomi melepaskan dirinya dari jeratan ranah keilmuwan Sosial. Akhirnya, Ekonomi tidak dapat lagi disebut sebagai ilmu yang berada dibawah kajian ilmu-ilmu Sosial.

Padahal, bila merujuk pada definisi klasik dari A. Marshal, Ekonomi adalah the study of humanity in the ordinary affairs of everyday life yang tentu mensyaratkan interaksi yang kompleks antar manusia. Namun Ekonomi modern cenderung mengabaikan faktor manusia dan sosial dalam ranah epistemologisnya dan kesemuanya bermuara pada dehumanisasi manusia dalam selubung postivistik Ilmu Ekonomi.

Kuasa Ekonomi benar-benar menghujam dunia yang kita diami sekarang. Siapa yang menguasai ekonomi (baik menguasai praksisnya maupun keilmuwannya) dapat dengan mudah menguasai dunia. Keilmuwan modern Ekonomi bergerak berdasarkan tiga prinsip utama. Prinsip pertama adalah bagaimana perkembangan pengetahuan berkontribusi bagi peningkatan teknologi. Kedua, bagaimana pengetahuan itu sendiri berkembang. Dan yang terakhir adalah koleksi data empiris dan penggunaan analisis ekonometri dalam melihat realita penarawan dan permintaan.
Ketiga prinsip diatas, meminjam konsep Jurgen Habermas, hanya akan menjadikan Ekonomi sebagai pengetahuan yang menjadi alat bagi kepentingan kelompok hegemonik tertentu dalam melestarikan kekuasaannya. Penguasaan ranah praksis tentu harus dilandasi oleh fundamen keilmuwan yang memihak pada para hegemon ini. Dan Ekonomi hingga sekarang berhasil menjadi instrumen kekuasaan para hegemon.

Adakah perlawanan diskursus terhadap narasi hegemonik ini? Tampaknya perlawanan diskursus itu ada. Globalisasi ternyata tidak hanya memberikan akses pasar yang tanpa batas bagi hegemon untuk meraup sebongkah harta dari tanah-tanah kaya “tak bertuan”. Globalisasi juga membangkitkan kesadaran kolektif dunia bahwa ketidakadilan global sedang mewabah di bumi yang sedang memasuki era pascamodernitas ini. Era dimana tidak hanya muncul ironi matinya pencarian akan kebenaran saja namun juga ironi kemanusiaan terbesar yang pernah dirasakan sejarah kemanusiaan manusia.

Melawan kuasa Ekonomi

Representasi perselisihan antara Sosial dan Ekonomi dalam ranah praksis dapat kita lihat
melalui fenomena penyelenggaraan World Social Forum (Forum Sosial Dunia, FSD) yang berbarengan dengan World Economic Forum (Forum Ekonomi Dunia, FED). Penggunaan signifier Sosial dan Ekonomi dalam kedua nama forum diatas tak dapat dipungkiri merupakan signified untuk dua hal yang saling beroposisi biner satu dengan yang lainnya; Sosial mengisyaratkan perlawanan, ketertindasan, pospositivistik, dan civil society; Ekonomi memaklumatkan hegemon, ketidakadilan, postivistik, serta korporasi dan elite penguasa negara.

Kehadiran diskursus yang dibawa keduanya pun bertendensi saling beroposisi. Sosial mengangkat diskursus ekofeminsime, feminisme, new social movement, dan poskolonialisme, sedangkan Ekonomi hanya berkutat pada diskursus neoliberalisme, globalisasi dan narasi-narasi besar lainnya yang sekarang terus menggerogoti narasi-narasi kecil kaum marjinal.
Pelaksanaan World Social Forum menjadi bukti bangkitnya kesadaran Global Civil Society dalam menghadapi realitas ketimpangan yang sedang berlangsung di dunia hingga hari ini. Walaupun kemunculan FSD secara organisatoris muncul pada tahun 2001 di Brazil, namun sebenarnya Forum seperti ini telah muncul pada tahun 1996 yang diberi nama Pertemuan Internasional demi Kemanusiaan dan Melawan Neoliberalisme. Forum yang diinisiasi oleh Zapatista ini merupakan gerakan global civil society yang dapat merangkul seluruh aktivis kemanusiaan dari seluruh dunia (termasuk Munir dari Indonesia).

Sementara itu, FED, yang berbasis di Jenewa, merupakan sebuah forum yang dibentuk oleh 2000 perusahaan besar dan selalu dihadiri oleh pejabat-pejabat Unholly Trinity (IMF, World Bank, WTO) serta pejabat-pejabat pemerintahan negara maju yang mendedikasikan diri mereka untuk pengembangan ekonomi global yang secara nyata hanya menjadi ilusi di mayoritas negara-negara berkembang.

FSD merupakan contoh kongkret munculnya gerakan emoh-negara (non-state) yang melihat bahwa peranan negara yang selama ini menjadi entitas legal dengan fungsi hierarkisnya dalam masyarakat semakin menipis bila dihadapkan dengan kuasa kepentingan ekonomi global. Identitas warga negara digantikan oleh anonimitas masyarakat konsumsi. Dalam era pascamodern ini, negara kesejahteraan yang melindungi segenap warga negaranya tak lebih dari sebatas entitas-entitas wilayah yang beralih fungsi menjadi pasar-pasar yang menggiurkan.
FSD membuktikan bahwa sistem internasional dan hubungan antar bangsa tidak lagi dimonopoli oleh Negara. Negara tidak lagi merepresentasikan individu dan masyarakat pada level internasioal. Fenomena FSD menggambarkan bagaimana retaknya kesatuan utuh negara yang selama ini secara given menjadi aktor dominan dalam hubungan antar bangsa.

Secara keseluruhan, Fenomena FSD merupakan cerminan dari perlawanan teks “sosial” menghadapi kuasa teks “ekonomi” yang menjadi sekedar instrumen kuasa bagi kaum hegemon untuk melanggengkan kepentingannya. FSD merupakan gejala mengglobalnya narasi-narasi kecil yang termarjinalkan untuk bersatu melawan derasnya sapuan narasi besar egoistik negara maju yang menghasilkan ketidakadilan global dalam sistem internasional sekarang.
Humanisasi Ilmu Ekonomi?

Seyogyanya, proyek besar yang niscaya harus dilakukan untuk mereduksi ironi ketimpangan masyarakat dunia sekarang adalah menempatkan kembali Ilmu Ekonomi pada ranah keilmuwan Sosial. Implikasinya, Ilmu Ekonomi tidak hanya menjadi instrumen bebas nilai dalam menganalisis gejala sosial. Ilmu Ekonomi sudah saatnya memutuskan keberpihakannya terhadap kaum marjinal.

Fenomena Forum Sosial Dunia dan oposisinya, Forum Ekonomi Dunia menjadi semacam simbolisasi dari pertarungan antara ranah Sosial yang lebih plural terhadap kemunculan warna-warni diskursus baru dengan ranah Ekonomi yang ortodoks, angkuh dan masih positivistik. Fenomena ini juga memperlihatkan bahwa Keilmuwan Sosial menjadi sarana bagi berkembangnya semangat emansipatoris untuk membebaskan manusia dari kungkungan kuasa tak terlihat, sedangkan keilmuwan Ekonomi masih menjadi alat pembenaran bagi realitas ketimpangan yang terjadi di dunia.

Harus dicatat, keilmuwan Sosial sempat menjadi keilmuwan yang bersifat positivistik namun sekarang telah menjadi wilayah keilmuwan yang mengakomodir epistemologi pospostivis. Oleh sebab itu tentu masih ada kemungkinan menjadikan keilmuwan Ekonomi untuk lepas dari kecenderungan positivistik yang bebas nilai ini menuju Ekonomi yang memihak kaum marjinal. Untuk itu wacana dekonstruksi kecenderungan postivistik dalam ilmu Ekonomi menjadi Conditio sine qua non bagi humanisasi ilmu Ekonomi itu sendiri.