Showing posts with label nations. Show all posts
Showing posts with label nations. Show all posts

Dekolonialisasi Identitas Indonesia

Author: ICAL KARIM / Labels:

Membaca identitas keindonesiaan bagaikan membaca teks yang berkelindan tiada henti hingga akhirnya kemenyatuan yang menyeluruh dari identitas itu tampak tidak akan pernah diketemukan bahkan untuk dilihat secara sekilas. Teks yang berjalin-kelindan membentuk identitas keindonesian tersebut tak lain adalah identitas-identitas minor yang majemuk dalam semesta identitas di Indonesia.
Keberagaman identitas ini semestinya hadir dalam identitas keindonesiaan yang kita sebut sebagai Bangsa Indonesia. Dalam alam demokrasi yang sedang tumbuh di negeri ini, identitas kebangsaan tidaklah ditentukan oleh seberapa besar jumlah pendukung salah satu identitas yang ada, melainkan ditentukan oleh pemaknaan dari setiap kelompok dalam masyarakat.
Menggunakan terminologi Homi K. Bhabha, Identitas keindonesian yang majemuk mesti hadir dalam ruang ambang liminal interaksi masyarakat. Semesta liminal inilah yang menjadi ruang sempurna bagi kehadiran identitas Keindonesiaan yang ragam dan majemuk. Ruang ambang liminial Bhabha ini, dapat kita definisikan sebagai ruang dimana identitas-identitas yang ada tidak saling menaklukkan dan tetap berada pada keadaan ketidakmanunggalan identitas. Bila sebuah identitas dominan dalam ruang ambang liminal ini merepresentasikan keseluruhan identitas maka akan terjadi kekerasan identitas kepada identitas minor yang kehilangan tempatnya dalam ruang ambang liminal ini.
Setidaknya terdapat dua hal yang selama ini dianggap sebagai pembentuk identitas keindonesiaan kita. Yang pertama adalah proses kolonialisasi dan yang kedua adalah kesadaran anak “elit” pribumi atas identitasnya.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa Identitas Keindonesiaan terbentuk melalui sebuah proses evolusi kesadaran anak-anak bangsa yang terkonstruksi dalam historisitas waktu. Merujuk pada pendapat Driyarkara, identitas Keindonesiaan merupakan proses perjalanan tiap pelaku, aktor, subjek “manusia Indonesia” yang berjuang dengan pikiran cerdas, batin hening untuk mencipta struktur-struktur hidup bersama yang makin manusiawi. Tentu subjek manusia Indonesia yang dimaksud Driyarkara bukanlah keseluruhan “manusia Indonesia” melainkan merujuk pada manusia-manusia besar Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, dan Tan malaka. Mereka yang dikenal sebagai founding fathers inilah yang membentuk karakter bangsa. Identitas Indonesia pada dasarnya tidak ada pada alam realitas sesunguhnya. Identitas Indonesia dikonstruksi dalam alam kognitif para pribumi terbaik bangsa. Merekalah peletak dasar identitas Keindonesiaan kepada kita. Pada era Orla, tak heran bila identitas kita sebagai bangsa Indonesia merupakan bentukan dari pikiran Bung Karno mengenai apa itu Indonesia. identitas Keindonesiaan yang hipermultikultural tereduksi oleh national building yang dilakukan Bung Karno.

Proses kolonialisasi selama berabad-abad turut membentuk identitas kita sebagai orang Indonesia. pada satu sisi, batas imajiner bernama nation-state peninggalan Belanda menjadi penyatu identitas multikultural keindonesiaan. Di sisi lain, ia membelenggu berbagai identitas-identitas minor yang ada dalam sekat tunggal bernama Negara Indonesia. Tetapi kolonialisasi bangsa penjajah bertransformasi menjadi kolonialisasi negara. Kekerasan identitas oleh identitas negara (baca: identitas dominan) terhadap identitas minor tak dapat terelakkan. Era Orde Baru adalah era yang paling kentara memperlihatkan bagaimana identitas dominan (Jawa) merepresi identitas minor lainnya. Kita tahu bagaimana pada era Orba, pakaian kebaya khas jawa menjadi pakaian resmi pejabat pemerintah. Kolonialisme tak lagi dilakukan oleh pemerintah kolonial, melainkan oleh negara.

Sampai disini, terlihat konstruksi Keindonesiaan merupakan konstruksi yang delusif dan rapuh. Ia terbentuk tanpa adanya partisipasi dari kesadaran narasi-narasi kecil local genius yang hidup di Indonesia.

Namun sungguh menyedihkan apabila kita menengok kembali identitas Keindonesiaan kita dewasa ini. Pasca reformasi, pembentukan identitas Keindonesiaan tidak hanya dibentuk oleh dua kondisi diatas. Di era ini, Identitas Keindonesiaan dibentuk oleh kondisi sistemik politik internasional yang secara dinamis terus bergolak. Sebagai salah satu aktor dalam jagat sistem internasional, interaksi antara Indonesia dengan negara besar serta posisi Indonesia dalam arena internasional turut membentuk identitas Indonesia secara exogenous.

Pada era Megawati Soekarno Putri, identitas kita adalah negara demokratis terbesar di dunia. Padahal selama enam puluh tanun masa mengisi kemerdekaan, kita tidak pernah menjadi bangsa yang benar-benar demokratis. Tidak ada kesadaran akan demokrasi di bangsa ini. kalaupun ada pemilu itu bukanlah ajang demokrasi melainkan ajang para elit untuk berebut peran dalam teater politik di negara ini. Apa daya realitas berkata lain, kondisi sistemik internasional mengharuskan kita untuk menjadi negara demokratis agar dapat menjadi contoh bagi negara-negara berkembang lainnya untuk memeluk demokrasi sebagai jalan hidup bernegara.

Namun perubahan struktur internasional terjadi. Penyerangan beruntun AS terhadap negara-negara mayoritas muslim menyebabkan bangkitnya fundamentalisme di negara-negara berpenduduk Muslim baik di Timur-Tengah sendiri maupun wilayah-wilayah lain di luar Timur-Tengah. Musuh utama AS bukan lagi negara non-demokratis melainkan fundamentalisme Islam. Pada Era SBY, identitas kita pun terpaksa berubah dari negara demokratis menjadi negara Muslim Moderat. Indonesia pun sekali lagi diproyeksikan menjadi contoh untuk negara mayoritas muslim lainnya terutama di Timur-Tengah dalam bagaimana seharusnya berislam. Sejak kapan kita menjadi negara muslim moderat. Adakah identitas tersebut sebelum terjadinya perubahan sistem internasional? Betapa rapuhnya identitas Keindonesiaan yang mesti berubah seiring perubahan konstelasi internasional yang ada. Anehnya pemerintah bangga menjadikannya sebagai atribut kita di kancah internasional.

Dari awal berdirinya, Bangsa ini tidak pernah benar-benar mendefinisikan identitasnya. Pada era Soekarno, Indonesia adalah apa yang dipikirkan beliau. Pada Era Soeharto, Indonesia adalah Jawa. Era pasca reformasi, Indonesia adalah apa yang dipersepsikan negara lain untuk kepentingan mereka. Lalu siapa kita? Bukan siapa-siapa.

Pada akhirnya bangsa ini hanya menjadi semacam a gestative political structure dari pada simply an allegory or imaginative vision. Franz Fanon telah memperingatkan kepada kita bahwa, bangsa, alih-alih merangkul harapan seluruh anak negeri, malah tak lain adalah tempurung kosong yang kasar dan parodi rapuh yang tak memiliki pemaknaan apa pun di dalamnya. Itukah kita?

Kapitalisme Global dan dehumanisasi Manusia

Author: ICAL KARIM / Labels: ,

Kapitalisme global yang sekarang menjadi sebuah kekuatan yang tak terjamah menjadi sesuatu hal yang menakutkan bagi Negara-negara dunia ketiga. Kapitalisme global sekarang bisa disebut sebagai Leviathan dunia. Secara singkat kapitalisme global (global capitalism) dapat didefinisikan sebagai bentuk kapitalisme yang berskala global, yang terutama didukung oleh berbagai mekanisme-mekanisme struktural dan lembaga-lembaga multinasional. Karakteristik dari kapitalisme global ialah cakupannya yang mengglobal dan prinsip utamanya yaitu persaingan.
Sedangkan dehumanisasi manusia merupakan sebuah bentuk ekploitasi manusia dalam bentuknya yang beragam yang mengekang manusia dari kebebasan hakiki yang dimilikinya. Dehumanisasi ini terkadang diikuti dengan ketundukan manusia yang didehumanisasi dengan yang mengekploitasi dirinya.Lantas hubungan apa yang ada antara kapitalisme dan dehumanisasi manusia? Tulisan ini akan sedikit mengekplore lebih jauh kapitalisme global untuk menjawab pertanyaan diatas.
Sejarah perkembangan Kapitalisme
Kapitalisme yang lahir dari rahim peradaban barat merupakan titik kulminasi dari berbagai macam peristiwa yang terjadi di tanah Eropa. Secara lebih spesifik, kemunculan kapitalisme berkaitan erat dengan munculnya gerakan protestanisme di Eropa. Gerakan yang menentang otoritas gereja katolik yang tiranik ini berhasil mempengaruhi sejarah peradaban barat selanjutnya.
Seperti yang dideskripsikan dengan baik oleh Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber melihat bahwa kemunculan kapitalisme terkait dengan doktirn predestinasi atau doktrin takdir yang terdapat dalam teologi protestan. Menurut Weber, ajaran protestan memiliki ajaran mengenai predestinasi ganda dimana kaum protestan tidak mengetahui apakah mereka termasuk kelompok yang termasuk orang terpilih atau termasuk kaum terkutuk. Bila dalam teologi katolik terdapat doktrin bahwa siapa saja yang menyandarkan diri pada gereja maka akan menemui keselamatan tetapi tidak demikian dalam ajaran protestan yang tidak mengakui otoritas gereja yang tiranik. Sehingga mereka harus mencari jalan menuju keselamatan mereka masing-masing. Ajaran ini mendorong terciptanya etika individualisme dalam ajaran protestant yang menjadi inti peradaban barat. Akhirnya umat protestant terpaksa mencari certitudo salutis yang didefinisikan oleh Weber sebagai indikasi bahwa mereka termasuk orang-orang yang terpilih. Oleh karena itu kemakmuran dan kekayaan yang didapatkan di dunia menjadi semacam tanda dari Tuhan bahwa mereka yang berhasil di dunia merupakan orang-orang yang terpilih begitu juga sebaliknya.
Negara-negara Eropa Barat mendominasi Eropa dengan semangat kapitalisme ini. Negara-negara ini terus melakukan akumulasi modal. Keuntungan yang didapatkan lalu menjadi modal bagi usaha baru dan terus berakumulasi. Pada akhirnya akumulasi modal di daratan eropa sudah mencapai tingkat tertingginya, untuk itu para kapitalis harus mencari daerah pemasaran baru dan daerah penghasil bahan baku. Untuk itu instrument proliferasi kapitalisme yang paling manjur adalah kolonialisme.
Hingga akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 munculnya nasionalisme pada bangsa-bangsa terjajah membuat instrument kolonialisme mulai tidak efektif, terlebih akhir PD 2 menghasilkan declaration of Human Right yang secara ekplisit menentang penjajahan. Instrument baru bagi proliferasi kapitalisme ke seluruh dunia adalah melalui berbagai macam institusi supranasional seperti IMF dan Bank Dunia yang dibentuk di pertemuan Bretton Woods.
Hingga sekarang proliferasi kapitalisme terus berlangsung dengan nama baru seperti utang luar negeri dan investasi asing. Melalui instrumen narasi besar kapitalisme yang bernama globalisasi, maka dunia telah berada pada kekuasan jejaring kapitalisme global.
Nilai guna ke ekploitasi hasrat dalam sistem kapitalismeDasar kapitalisme sekarang tidak lagi berbasiskan persediaan yang ada tetapi berbasiskan permintaan. Oleh karena itu kapitalisme hidup dari proses konsumsi pada sebuah masyarakat. Dan proses konsumsi yang dilakukan masyarakat yang dikonstruksi oleh kapitalisme tidak lagi menggunakan logika fungsi tetapi menggunakan logika hasrat. Kondisi dimana proses konsumsi yang menggunakan logika hasrat ini bisa disebut sebagai masyarakat konsumerisme.
Masyarakat seperti ini sengaja dikonstruksi oleh kapitalisme global. Masyarakat konsumer ini terkadang berpikir bahwa mereka bebas mengkonsumsi apa saja yang mereka inginkan. Tetapi masyarakat ini lupa bahwa segala hal yang mereka konsumsi merupakan konstruksi para kapitalis global. Dengan kata lain mereka mengkonsumsi apa yang telah dikonstruksi kapitalis untuk dikonsumsi. Masyarakat konsumer ini merasa merekalah yang memegang kendali atas barang-barang yang mereka beli dan punyai tetapi sebenarnya seperti yang dikatakan Budrillard barang-barang tersebutlah yang menguasi para konsumen ini.
Kita dibuat bingung dengan munculnya budaya pop (pop culture) pada pertengahan dan abad ke-20 dan menjadi lebih parah pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. dimana dengan peran media seperti televisi membuat generasi muda menjadi tergila-gila dengan para penyanyi dan artis-artis terkenal yang sering muncul di televisi. Muncul pada beberapa dasawarsa terakhir apa yang disebut MTV yang menjadi salah satu pengekspor budaya pop. Juga tak lupa film-film yang diproduksi oleh Hollywood.
Budaya pop merupakan salah satu contoh beralihnya logika fungsi suatu komoditi menjadi logika hasrat yang diekploitasi kapitalisme pada diri manusia. Bagaimana kapitalisme membuat dan mengkonstruksi sebuah komoditi baru yaitu budaya pop ini untuk kemudian dikonsumsi oleh masyarakat. Bagaimana sebuah tiket konser seorang artis terkenal bisa mencapai puluhan juta rupiah hanya dengan menyanyi pada sebuah panggung hanya selam satu jam. Delueuze dan Guattari menyatakan masyarakat kapitalisme akhir seperti ini sebagai Skizofrenia.
Masyarkat konsumeristik yang bisa disebut masyarakat kapitalisme akhir ini dibuai dengan citraan dan imagi-imagi yang menurut Umberto Eco imaji-imaji dan ctraan-citraan yang dikonsumsi masyarakat kapitalisme akhir ini adalah sebuah dunia hiperealitas, realitas yang tidak memiliki rujukan pada realitas yang asli. Bahkan realitas itu sendiri menjadi menghilang dan menghasilkan simulacrum-duplikasi dari duplikasi.
Masyarakat kapitalisme akhir yang bertumpu pada asumsi-asumsi modernitas tidak lagi menjadi masyarakat yang rasional dalam memutuskan. Tidak ada lagi pilihan-pilihan rasional dalam dunia yang dikuasai oleh logika hasrat. Yang menjadi tolak ukur masyarakat kapitalisme akhir ini adalah proses konsumsi. Adagium Descartes yang menyatakan Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada) telah berubah menjadi aku mengkonsumsi maka aku ada. Status sosial diukur dari apa yang kita punya (konsumsi). Membeli kopi lebih prestisius di starbuck dari pada di warung kopi. Nonton bioskop lebih ”bergaya” di planet hollywood dari pada di bioskop lokal di daerah pinggiran Jakarta. Berjalan-jalan di Pondok Indah Mall lebih ”wah” dari pada berjalan-jalan di pasar tanah abang. Manusia kapitalisme akhir lebih suka mengkonsumsi tanda dan citraan daripada memakai logika fungsi. Satu kalimat yang bisa menggambarkan keadaan seperti ini; matinya rasionalitas manusia.
Objektivikasi manusia Berujung Ekploitasi ManusiaObjektivikasi merupakan salah satu hasil pemikiran Hegel. Hegel beranggapan adanya dialektika dalam tataran ide yang terus-menerus berdialektika dalam sejarah yang pada akhirnya menemukan titik akhirnya yaitu spirit absolut yang merupakan penjelmaan kebenaran absolut. Hegel dalam dialektikanya melakukan pembedaan antara subjek-objek yang merupakan tradisi dualistik rasionalisme Descartes. Dengan adanya dualisme subjek-objek, maka dunia dilihat sebagai relasi subke-objek. Dimana objek merupakan hasil karya dari subjek. Dalam paradigma hegelian yang juga menjadi dasar modernitas menyiratkan bahwa objektivikasi merupakan sebuah dinamika subjek sebagai pencipta yang selalu mengekpresikan dirinya dalam objek ciptaannya itu.
Beda dengan Hegel, marx melihat proses objektivikasi sarat akan ekploitasi atas pekerja. Karena dalam kapitalisme, relasi antara subjek yang menciptakan dengan objek yang diciptakan terhalang disebabkan subjek yang menciptakan objek-objek itu terikat pula dengan kaum pemilik modal yang memiliki pekerja itu sendiri. Dengan kata lain hasil karya dari pekerja itu yang seharusnya menjadi milik pekerja itu sendiri sekarang tidak lagi dimiliki oleh para pekerja melainkan dimiliki oleh kaum pemilik modal.
Pada masa kita sekarang relasi antara subjek dan objek berada dalam kerangka konsumsi. Dimana masyarakat kapitalisme akhir hanyut dalam proses konsumerisme. Sebenarnya pada masyarakat ini tidak ada lagi pembedaan antara subjek dan objek, bahkan manusia pun menjadi komoditi yang dapat dijadikan objek. Bila dalam terminologi Marx, pemilik tenaga kerja yaitu pekerja telah diobjektivikasi oleh para pemilik modal. Jadi tidak hanya barang yang dihasilkan pekerja yang menjadi objek tetapi pekerja yang membuat komoditi itu pun telah menjadi objek dari para pemilik modal.
Disini terjadi apa yang disebut dehumanisasi manusia. Pada situasi ini manusia tidak lagi diposisikan sebagai subjek melainkan telah dijadikan objek oleh manusia yang lainnya.Setelah terobjektifikasikan, manusia lalu diekploitasi tidak hanya tenaga kerjanya seperti yang dikatakan Marx, tetapi lebih jauh pada masyarakat kapitalisme akhir ini tubuh pun juga diekploitasi. Pengekploitasian tubuh manusia ini tak hanya dalam rangka pemenuhan logika hasrat masyarakat konsumerisme tetapi juga dalam rangka mengekploitasi tanda-tanda dan citran-citraan yang terdapat dalam tubuh manusia itu. Seperti citraan sensualitas dan seksualitas.
Kita melihat bagaimana simbol sensualitas wanita dan simbol maskulinitas pria diekploitasi sedemikian rupa hanya sebagai mendukung proses distribusi suatu komoditi. Dalam iklan, jeans selalu digunakan oleh wanita seksi dan pria seksi. Handphone selalu dipegang oleh wanita yang berpenampilan menarik. Iklan merupakan salah satu saluran ekploitasi tanda-tanda di tubuh manusia.
Kita mengenal sebuah profesi yang disebut sebagai sales promotion girl, dimana sang wanita yang berpenampilan seksi menawarkan produk yang diproduksi perusahaan yang membayarnya. Sales promotion girl merupakan sebuah bentuk ekploitasi citraan-citraan tubuh manusia. Tidak hanya itu, profesi-profesi seperti cover girl, model, peragawati dan banyak profesi-profesi lainnya merupakan hasil konstruksi budaya kapitalisme yang berkolaborasi dengan budaya patriakhis.
Ekploitasi manusia ini pun tidak berhenti pada tataran pekerja, konsumen pun juga tak terhindarkan dari ekploitasi ini. Bila pekerja diekploitasi tenaganya maka konsumen diekploitasi hasratnya sehingga mereka tidak lagi berperilaku rasional dalam proses mengkonsumsi.
Pada saat sekarang ini tidak ada lagi garis batas antara wilayah publik dan wilayah privat. Sekarang yang ada hanyalah wilayah publik. Demi memenuhi logika hasrat manusia, wilayah privat pun bebas untuk dikonsumsi secara publik. Bukan hanya barang-barang komoditi saja yang di objektivikasi, bahkan tubih manusia pun dijadikan komoditi yang dapat dikonsumsi secara massal.
Hebatnya lagi secara tidak sadar manusia dalam zaman kapitalisme akhir ini tidak sadar bahwa dunia mereka adalah dunia hasil rekayasa kapitalis global. Mereka mereka bebas memilih dan menjadi apa saja yang mereka inginkan tetapi kebebasan mereka memilih tidak sepenuhnya bebas karena pilihan-pilihan yang ditawarkan telah diatur sebelumnya.
Ekploitasi yang terjadi atas tubuh manusia ini tidaklah bernama ”ekploitasi” karena atas nama ”kebebasan” hal itu tidak lagi menjadi sebuah bentuk eklpoitasi. Dengan adagium semua orang berhak untuk berekpresi, maka kapitalisme mempunyai kekuatan untuk mengekploitasi secara legal dan juga dengan persetujuan orang yang diekploitasi. Kapitalisme melakukan ”controlling the publik mind” melalui perantara-perantara seperti TV, music, pendidikan dan hegemoni makna kata-kata ”sakti”. Dengan instrumen-instrumen itu maka kapitalisme tanpa kita sadari telah melakukan soft hegemony terhadap diri kita.
Kapitalisme juga menghegemoni makna-makna yang sangat berpengaruh di masyarakat. Merekalah yang punya hak menentukan apa arti kebebasan, demokrasi, hak asasi manusia, terorisme dan segala macam makna yang berlaku di masyarakat. Dengan menghegemoni makna yang ada secara tidak langsung mereka menghegemoni kebenaran (signified) yang terkandung dalam kata-kata ”sakti” tersebut (signifier).
Kapitalisme dan ekploitasi makna Demokrasi
Menurut Noam Chomsky, demokrasi tak lain adalah demokrasi pasar. Fareed zakaria dalam bukunya yang berjudul masa depan kebebasan, demokrasi hanyalah suatu hal yang semua (pseudo democracy) bila tidak diikuti oleh liberalisme. Bisa disimpulkan demokrasi yang benar adalah demokrasi yang mengakomodir kebebasan yang terkonstruksi dalam kerangka pasar (kapitalisme).
Kapitalisme tidak hanya berlaku pada tataran ekonomi an sich tetapi menjalar keseluruh segi kehidupan masyarakat. Sudah pasti dalam bidang politik, kapitalisme sangat kuat mempengaruhi. Demokrasi berfungsi tak lain hanya unstuck memberikan jalan kepada kapitalisme unstuck menguasai suatu wilyah. Demokrasi seolah-olah tidak memiliki makna yang berarti. Semua orang berhak berteriak menegakkan demokrasi tetapi apa itu demokrasi. Kata ”demokrasi” yang merupakan signifier sudah tidak memiliki signified dibaliknya.
Demokrasi juga menjadi alat penyeragaman bagi umat manusia. Tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu demokrasi diklaim sebagai sebuah bentuk sempurna dari sebuah sistem pemerintahan. Demokrasi diklaim sebagai nilai yang paling universal di dunia sekarang. Negara-negara kapitalis sekeakan tidak memberi ruang bagi penafsiran alternatif bagi demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang berintikan liberalisme haruslah dipaksakan kepada seluruh umat manusia agar tercipta perdamaian. Bahkan seorang woodrow wilson memutuskan membawa AS memasuki PD I karena ingin menyebarkan demokrasi.
Tetapi pada saat yang sama kita dibuat bingung dengan didukungnya pemerintahan-pemerintahan yang tidak demokratis yang uniknya merupakan sekutu Amerika serikat dan negara-negara kapitalis. Apakah sebuah negara yang tidak demokratis dan tidak mendukung kapitalisme global harus dimusnahkan atas nama demokrasi sedangkan negara yang tidak demokratis tetapi memberikan tempat kepada kapitalisme global tidak dimusnahkan, karena bila demokrasi diterapkan maka negara-negara tersebut akan menolak kapitalisme global.
Kita lebih dibuat bingung lagi, disaat sebuah negara menyelenggarakan pemilu yang sangat demokratis malah diembargo hingga rakyat negara tersebut kelaparan. Apakah karena melakukan praktek demokrasi, rakyat di suatu negara harus dihukum. Ini sebuah pembuktian bahwa demokrasi tidak bermakna apa-apa kecuali sebagai alat kapitalisme global untuk menguasai negara-negara di dunia.
Epilog: kapitalisme; sebuah hegemoni (grand narrative) peradaban besar untuk menaklukkan the others.
Di millennium ketiga sekarang ini, kapitalisme tidak memberi ruang bagi paradigma ekonomi alternative untuk hidup. Dengan berbagai macam instrument instutusional supranasional seperti IMF dan World Bank, kapitalisme terus melakukan proliferasi keseluruh penjuru dunia. Dunia terus menciut hingga menjadi Global Village. Dengan adanya global village ini terjadi penyeragaman dunia yang sebenarnya sangat beragam. Narasi-narasi besar dunia dibawah kapitalisme, seperti liberal demokrasi, universal human rights, kebebasab sekarang menguasai dunia dan tidak menyisakan ruang bagi narasi-narasi kecil.Kapitalisme menjadi alat hegemoni bagi peradaban besar untuk menaklukan peradaban-peradaban kecil. Dengan kapitalisme, Negara-negara kapitalis terus menjaga posisi mereka pada titk sentral (core) dalam struktur system dunia dan akan selalu menjaga Negara-negara kecil untuk terus berada dalam zona periphery.Sudah seharusnya peradaban bear (barat) untuk menghargai dan memberi ruang hidup bagi nilai-nilai yang tidak sejalan dengan nilai universalitas barat. Dunia bukanlah hanya sekedar monopoli wacana barat. Setiap peradaban berhak menpersepsikan dunia di mana mereka tinggal. Peradaban di dunia tidaklah seharusnya menjadikan kapitalisme sebagai landasan segala sesuatu. Dunia punya hak untuk memilih paradigma apa yang pas buat mereka.

The Fading Goliath

Author: ICAL KARIM / Labels:


The future of American role as the world’s government therefore depended on how much, and for how long, American would be willing to pay

(Michael Mandelbaum)

Until now, US react as if they are world government in which other countries as their citizens. Though US weren’t elected democratically to be on that position, they get international legitimacy because of their strong military and economy since World War II. Yet, today, US Legitimacy as World’s Leader are being challenged. The challenge doesn’t come from nowhere; it comes from Domestic factor of US Socio-politics.


Expensive Position

As G. John Ikenberry said, US have two grand strategies to place them as the world’s government. The first grand strategy is the realist orientation which US try to contain the expansion of other’s military power by deploying military power around the world or making military alliance with other states. The second grand strategy is the liberal orientation by pushing free trade and liberal economic through the establishment of international regimes. Through the first grand strategy, US practice military hegemony while through the second, they execute benign hegemony.

Within these two grand strategies, US successfully become the world’s leader. Though a lot of states do not like US achieve this position, none of the states in the world really try to change the balance of power. France, China, and Russia generally don’t like US Hegemony. But none of them have policies to change the status quo. It is because a lot of states get a benefit while US in charge as the world’s leader. And US do have a tendency to make other states gain a benefit in international system. As Mark Twain said, weather that everybody talks about it but nobody does anything about it.

But lately for US citizen, these two grand strategies are too expensive. The deployment of US Soldier in bases outside homeland cost a lot of money, yet there are no real military threats in post collapse of Soviet Union. Moreover, in the 21 century, US Enemies aren’t nation state anymore but non-state actors which are so different with nation state actors. So do the free trade. Free trade has made US domestic market heaven for other countries’ products. That’s why, US trade balance are always deficit and make a lot of their citizen lost their jobs.

Domestic Problem

Foreign policy begins at home. This sentence is an axiom that absolutely true in foreign policy study. Survey shows us that majority of American believe that actions taken by their government abroad are based on American interest. The struggle to disseminate democracy is good if it can bring economic advantage for American.

Like Michael Mandelbaum said, Americans always implement cost-benefit calculation. Americans ungrudgingly agree if their money taken by government is used to finance US foreign policy that so expensive. But, Americans have a limit how far their money can be expensed for US foreign policy.

When the cost needed to maintain domestic welfare is increase, money from taxes can’t cover both cost to maintain domestic welfare and US hegemonic power. Within its demographic condition where young people are less than older people, US government should responsible for pension cost, social security, and health security. All of the costs are paid by young US citizen. Estimated that around 45-75 trillion dollar are cost that young US citizen should pay. Statistic shows that US expend more than US$ 400 billion for security budget and left US$ 80 billion for education budget. Compare with other developed countries, public education in US is the worst.

A dilemma

Though US is always contested by other countries, no one dare enough to take US position. To maintain security stability in the world isn’t something that easy to do and only US who has willingness to take care that job. China which is projected to be the world’s new hegemonic is never come out from Asia. So does Russia. Using hegemonic stability theory, every country in the world is taking advantage while US become hegemonic state in anarchic international system.

But, by seeing the domestic problems faced, US stuck in dilemmatic condition. In the one hand, being world’s hegemony is wasting a lot of energy. In the other hand, the task of US government is to prosper US citizen. Therefore, US must choose between international ambition (gun) and domestic problem (butter) .

Surely, democracy rather choose butter than gun. In declaration of independence is also stated that the purpose of the establishment of US is to create life, freedom, and the pursuit of happiness of all American. That purpose is merely domestic problem rather than international one. Never stated in declaration of independence that maintaining international stability and creating global wealth as US purposes. So, constitution doesn’t gives allowance for US to play as the world’s government.

Paul Kennedy has ever said, the decline of hegemonic powers isn’t caused how far they lost its international legitimacy but how far they lost legitimacy from their people. The biggest threat that make US hegemonic power decline is not come from the rise of other super powers in international system but come from the willingness of US citizen who sick with all of the high cost they should pay to maintain hegemonic position. At least, financial crisis phenomena faced by US, subprime mortgage crush US property sector, the decline of public education service, trade deficit, financial deficit, and the rise of criminality are some of example how the coming end of goliath is begin.


To read the Bahasa version, please kindly visit:
http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=9911&coid=4&caid=33