Sosial Versus Ekonomi

Author: ICAL KARIM / Labels: ,

Ada semacam persaingan terselubung antara Ekonomi dan Sosial, dua kata yang bisa merujuk pada praksis keseharian manusia dan juga pada ranah keilmuwan modern dewasa ini. Secara ontologis, dua ranah keilmuwan ini lahir dari rahim tradisi positivistik Barat yang sama. Namun dalam perjalanannya, keduanya memilih untuk berpisah jalan dari segi epistemologis dan aksiologis. Ranah Keilmuwan Sosial lebih dinamis dengan munculnya wacana-wacana narasi kecil yang semakin mewarnai wilayah epistemologisnya. Sedangkan Ekonomi dengan angkuh tetap memegang teguh tradisi positivistik dalam wilayah epistemologisnya sehingga ekonomi dapat mengklaim sebagai empunya kuasa akan representasi realitas di masyarakat. Realitas yang oleh Ekonomi dapat dengan mudah direpresentasikan dalam bentuk tabulasi angka statistik-matematis yang rumit.

Ekonomi yang pada awalnya sebenarnya termasuk domain dari keilmuwan Sosial lambat laun bertendensi untuk keluar dari ranah tersebut dan membangun wilayahnya sendiri. Dengan adagium Economics for economics, Ekonomi melepaskan dirinya dari jeratan ranah keilmuwan Sosial. Akhirnya, Ekonomi tidak dapat lagi disebut sebagai ilmu yang berada dibawah kajian ilmu-ilmu Sosial.

Padahal, bila merujuk pada definisi klasik dari A. Marshal, Ekonomi adalah the study of humanity in the ordinary affairs of everyday life yang tentu mensyaratkan interaksi yang kompleks antar manusia. Namun Ekonomi modern cenderung mengabaikan faktor manusia dan sosial dalam ranah epistemologisnya dan kesemuanya bermuara pada dehumanisasi manusia dalam selubung postivistik Ilmu Ekonomi.

Kuasa Ekonomi benar-benar menghujam dunia yang kita diami sekarang. Siapa yang menguasai ekonomi (baik menguasai praksisnya maupun keilmuwannya) dapat dengan mudah menguasai dunia. Keilmuwan modern Ekonomi bergerak berdasarkan tiga prinsip utama. Prinsip pertama adalah bagaimana perkembangan pengetahuan berkontribusi bagi peningkatan teknologi. Kedua, bagaimana pengetahuan itu sendiri berkembang. Dan yang terakhir adalah koleksi data empiris dan penggunaan analisis ekonometri dalam melihat realita penarawan dan permintaan.
Ketiga prinsip diatas, meminjam konsep Jurgen Habermas, hanya akan menjadikan Ekonomi sebagai pengetahuan yang menjadi alat bagi kepentingan kelompok hegemonik tertentu dalam melestarikan kekuasaannya. Penguasaan ranah praksis tentu harus dilandasi oleh fundamen keilmuwan yang memihak pada para hegemon ini. Dan Ekonomi hingga sekarang berhasil menjadi instrumen kekuasaan para hegemon.

Adakah perlawanan diskursus terhadap narasi hegemonik ini? Tampaknya perlawanan diskursus itu ada. Globalisasi ternyata tidak hanya memberikan akses pasar yang tanpa batas bagi hegemon untuk meraup sebongkah harta dari tanah-tanah kaya “tak bertuan”. Globalisasi juga membangkitkan kesadaran kolektif dunia bahwa ketidakadilan global sedang mewabah di bumi yang sedang memasuki era pascamodernitas ini. Era dimana tidak hanya muncul ironi matinya pencarian akan kebenaran saja namun juga ironi kemanusiaan terbesar yang pernah dirasakan sejarah kemanusiaan manusia.

Melawan kuasa Ekonomi

Representasi perselisihan antara Sosial dan Ekonomi dalam ranah praksis dapat kita lihat
melalui fenomena penyelenggaraan World Social Forum (Forum Sosial Dunia, FSD) yang berbarengan dengan World Economic Forum (Forum Ekonomi Dunia, FED). Penggunaan signifier Sosial dan Ekonomi dalam kedua nama forum diatas tak dapat dipungkiri merupakan signified untuk dua hal yang saling beroposisi biner satu dengan yang lainnya; Sosial mengisyaratkan perlawanan, ketertindasan, pospositivistik, dan civil society; Ekonomi memaklumatkan hegemon, ketidakadilan, postivistik, serta korporasi dan elite penguasa negara.

Kehadiran diskursus yang dibawa keduanya pun bertendensi saling beroposisi. Sosial mengangkat diskursus ekofeminsime, feminisme, new social movement, dan poskolonialisme, sedangkan Ekonomi hanya berkutat pada diskursus neoliberalisme, globalisasi dan narasi-narasi besar lainnya yang sekarang terus menggerogoti narasi-narasi kecil kaum marjinal.
Pelaksanaan World Social Forum menjadi bukti bangkitnya kesadaran Global Civil Society dalam menghadapi realitas ketimpangan yang sedang berlangsung di dunia hingga hari ini. Walaupun kemunculan FSD secara organisatoris muncul pada tahun 2001 di Brazil, namun sebenarnya Forum seperti ini telah muncul pada tahun 1996 yang diberi nama Pertemuan Internasional demi Kemanusiaan dan Melawan Neoliberalisme. Forum yang diinisiasi oleh Zapatista ini merupakan gerakan global civil society yang dapat merangkul seluruh aktivis kemanusiaan dari seluruh dunia (termasuk Munir dari Indonesia).

Sementara itu, FED, yang berbasis di Jenewa, merupakan sebuah forum yang dibentuk oleh 2000 perusahaan besar dan selalu dihadiri oleh pejabat-pejabat Unholly Trinity (IMF, World Bank, WTO) serta pejabat-pejabat pemerintahan negara maju yang mendedikasikan diri mereka untuk pengembangan ekonomi global yang secara nyata hanya menjadi ilusi di mayoritas negara-negara berkembang.

FSD merupakan contoh kongkret munculnya gerakan emoh-negara (non-state) yang melihat bahwa peranan negara yang selama ini menjadi entitas legal dengan fungsi hierarkisnya dalam masyarakat semakin menipis bila dihadapkan dengan kuasa kepentingan ekonomi global. Identitas warga negara digantikan oleh anonimitas masyarakat konsumsi. Dalam era pascamodern ini, negara kesejahteraan yang melindungi segenap warga negaranya tak lebih dari sebatas entitas-entitas wilayah yang beralih fungsi menjadi pasar-pasar yang menggiurkan.
FSD membuktikan bahwa sistem internasional dan hubungan antar bangsa tidak lagi dimonopoli oleh Negara. Negara tidak lagi merepresentasikan individu dan masyarakat pada level internasioal. Fenomena FSD menggambarkan bagaimana retaknya kesatuan utuh negara yang selama ini secara given menjadi aktor dominan dalam hubungan antar bangsa.

Secara keseluruhan, Fenomena FSD merupakan cerminan dari perlawanan teks “sosial” menghadapi kuasa teks “ekonomi” yang menjadi sekedar instrumen kuasa bagi kaum hegemon untuk melanggengkan kepentingannya. FSD merupakan gejala mengglobalnya narasi-narasi kecil yang termarjinalkan untuk bersatu melawan derasnya sapuan narasi besar egoistik negara maju yang menghasilkan ketidakadilan global dalam sistem internasional sekarang.
Humanisasi Ilmu Ekonomi?

Seyogyanya, proyek besar yang niscaya harus dilakukan untuk mereduksi ironi ketimpangan masyarakat dunia sekarang adalah menempatkan kembali Ilmu Ekonomi pada ranah keilmuwan Sosial. Implikasinya, Ilmu Ekonomi tidak hanya menjadi instrumen bebas nilai dalam menganalisis gejala sosial. Ilmu Ekonomi sudah saatnya memutuskan keberpihakannya terhadap kaum marjinal.

Fenomena Forum Sosial Dunia dan oposisinya, Forum Ekonomi Dunia menjadi semacam simbolisasi dari pertarungan antara ranah Sosial yang lebih plural terhadap kemunculan warna-warni diskursus baru dengan ranah Ekonomi yang ortodoks, angkuh dan masih positivistik. Fenomena ini juga memperlihatkan bahwa Keilmuwan Sosial menjadi sarana bagi berkembangnya semangat emansipatoris untuk membebaskan manusia dari kungkungan kuasa tak terlihat, sedangkan keilmuwan Ekonomi masih menjadi alat pembenaran bagi realitas ketimpangan yang terjadi di dunia.

Harus dicatat, keilmuwan Sosial sempat menjadi keilmuwan yang bersifat positivistik namun sekarang telah menjadi wilayah keilmuwan yang mengakomodir epistemologi pospostivis. Oleh sebab itu tentu masih ada kemungkinan menjadikan keilmuwan Ekonomi untuk lepas dari kecenderungan positivistik yang bebas nilai ini menuju Ekonomi yang memihak kaum marjinal. Untuk itu wacana dekonstruksi kecenderungan postivistik dalam ilmu Ekonomi menjadi Conditio sine qua non bagi humanisasi ilmu Ekonomi itu sendiri.

Menuju Kesadaran Kritis dalam Praksis Beragama

Author: ICAL KARIM / Labels: ,


GLOBALICA by Wolfgang Wildner



GLOBALICA by Wolfgang Wildner

Menggunakan terminologi Paulo Freire, seorang pedagogis Brazil, setidaknya terdapat tiga model kesadaran yang mewarnai cara manusia berpraksis dalam masyarakatnya. Kesadaran pertama adalah kesadaran magis atau dalam beberapa konteks merupakan kesadaran tradisional yang bertendensi irasional. Kesadaran kedua adalah kesadaran naif yang muncul tatkala menyeruaknya semangat perjuangan yang dihasilkan bukan dari perenungan dan kritisisme dalam menafsirkan realitas yang dihadapi, namun dihasilkan melalui indoktrinasi searah yang tidak memberikan ruang dialogis bagi sebuah pencarian akan kebenaran. Ekstremnya, kesadaran naif dalam praksis beragama merupakan cikal bakal dari lahirnya fanatisme dan radikalisme beragama.

Kesadaran yang terakhir adalah kesadaran kritis yang merupakan kesadaran yang holistik dalam menafsirkan realitas yang ada. Kesadaran ini muncul dari hasil perenungan kritis atas sebuah realitas dengan menggunakan seluruh sumber daya yang dimiliki manusia baik itu kognisi maupun hati nurani. Dalam konteks membangun model keberagamaan di Indonesia, maka seyogyanya umat beragama berkonsensus untuk membangun kesadaran beragama yang berlandaskan spirit kesadaran kritis ini.

Namun realitas berkata lain. Modernitas yang diharapkan menjadi katalisator bagi tumbuh kembangnya kesadaran kritis ternyata tidak jua memunculkan kesadaran kritis, alih-alih, masyarakat modern malah lebih memilih berendam dalam kubangan kesadaran naif. Modernitas hanya mampu mengeluarkan manusia modern dari jurang kesadaran magis namun tidak mampu meletakkan kesadaran kritis dalam benak kolektif masyarakat pascatradisional.

Dengan kata lain modernitas telah gagal memberikan kesadaran kritis bagi kesadaran beragama masyarakat modern, lebih buruk lagi, modernitas malah semakin menyuburkan kesadaran naif dalam praksis keberagamaan masyarakat modern. Tak salah bila Karen Armstrong menganggap kondisi modernitas yang dipaksakan merupakan akar dari lahirnya fanatisme dan radikalisme dalam keberagamaan kaum modern.

Revivalisme kesadaran naif

Kebangkitan kaum fundamentalisme dalam hal keagamaan terutama di Indonesia menghentakkan kesadaran magis masyarakat tradisional. Dengan penggunaan rasio, kaum fundamentalis menggebu-gebu membuktikan kesalahan praksis beragama masyarakat tradisional. Namun penggunaan rasio tidak berlanjut pada tataran yang melahirkan kesadaran kritis. Pada titik dimana rasio telah berhasil menghancurkan kesadaran magis, rasio kemudian dikerangkeng dan diendapkan dalam selubung gelap otoritarianisme teks yang menjadi sang penguasa tunggal dalam kesadaran beragama. Dengan mensubordinasikan rasio dibawah tirani teks, kemunculan kesadaran naif dalam beragama tak dapat dielakkan.

Dampak paling kentara dengan munculnya kesadaran naif dalam praksis beragama adalah lebih seringnya para misionaris dan pendakwah berangkat dari pembangunan kesadaran beragama dari domain politik yang sarat akan tipu muslihat dan mencari pembenaran terhadap tata dunia yang terjadi serta menafsirkannya dalam usaha membangun kesadaran beragama. Kesadaran seperti ini cenderung menghasilkan pemahaman yang reduksionistis dan partikular dan pada titik ekstrem berujung pada pemahaman yang keliru dari inti sebuah ajaran agama.

Sebut saja sebuah permasalahan internasional yang kompleks dan sarat akan pertarungan kepentingan direduksi menjadi sesuatu yang mudah dikonsumsi awam dengan cara menafsirkan realitas kompleks tersebut ke dalam sebuah pemahaman yang naif dan tidak holistik namun mudah untuk dicerna. Pada akhirnya kesadaran beragama ditelikung menjadi kesadaran politis profan yang bertendensi sebagai alat politik dan propaganda kelompok tertentu yang mengatasnamakan otoritas ketuhanan.

Kesadaran naif yang merajalela dalam kesadaran beragama di Indonesia menyebabkan hilangnya praksis fleksibilitas dalam beragama dalam masyarakat plural Indonesia. Praksis-praksis fleksibilitas seperti toleransi dan saling menghormati sesama umat beragama semakin memudar dari wajah plural masyarakat Indonesia.

Dus, dapat disimpulkan bahwa kaum revivalisme dalam umat beragama masih berada pada domain revivalisme kesadaran naif dan hingga kini belum terlihat upaya-upaya membangun proyek revivalisme kesadaran kritis beragama. Sepertinya ada ketakutan dalam benak penyebar agama bahwa dengan munculnya kritisisme di umatnya maka akan menimbulkan keragu-raguan yang bisa menyebabkan hilangnya loyalitas dalam memenuhi perintah-perintah agama.

Menguatkan basis kritisisme beragama

Max Horkheimer pernah menyimpulkan bahwa masa depan kemanusiaan tergantung pada adanya sikap kritis dewasa ini. Dengan kata lain, kemanusiaan kita diukur dari sejauh mana masyarakat mempraktekkan kritisismenya dalam praksis bermasyarakat dan terlebih praksis beragama.

Tinimbang domain profan, penguatan kehadiran Agama seharusnya berada pada domain transendental yang dengan begitu akan langsung berefek pada domain profan. Penumbuhan kesadaran transendetal harus dijadikan proyek agama-agama untuk menjadikan agama menjadi suatu yang berwarna tidak sekedar hitam-putih. Tentu juga harus ada garis pembatas yang tegas antara domain profan dengan domain transendental dalam wilayah keberagamaan sehingga tidak terjadi penelikungan-penelikungan agama untuk kepentingan-kepentingan profan belaka.

Kesadaran beragama yang dimunculkan melalui pendekatan politis dan pendekatan yang mensimplifikasikan fenomena-fenomena sosial yang kompleks sudah saatnya ditinggalkan. Pendekatan-pendekatan seperti itu terbukti hanya menghasilkan kecacatan dalam kesadaran beragama kita.

Sudah saatnya, kaum beragama untuk tidak takut akan pemikiran kritis dalam kesadaran beragama. Kang Jalal dalam salah satu bukunya pernah menyatakan bahwa sebuah keyakinan yang didahului oleh keraguan terlebih dahulu maka akan menghasilkan keimanan yang mantap pada diri manusia tinimbang keyakinan yang tidak pernah teruji sedikitpun oleh tajamnya sikap kritis yang dimiliki manusia. Keimanan yang kedua ini adalah keimanan yang rapuh dan lemah dan hanya garang pada permukaannya saja.

Agama merupakan semesta transendental yang sarat akan pemaknaan dan penafsiran. Bila filsuf Kristen Hans Kung menyatakan bahwa no dialogue between religions without investigating the foundation of the religions. Maka dalam kasus keberagamaan di Indonesia, bukan fondasi agamanya yang menjadi akar dari permasalahan antar umat bergama namun kesadaran akan semesta transendental yang dicerap secara naif lah yang merupakan ujung pangkal dari krisis praksis beragama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.

Akhirnya, dengan menanamkan kesadaran kritis dalam praksis beragama dalam masyarakat, relasi antar umat bergama dapat mengarah kepada sesuatu yang bersifat konstruktif. Agama tidak lagi menjadi lokomotif bagi munculnya konflik dalam masyarakat tetapi menjadi Elan Vital bagi pembangunan spiritual bangsa yang sedang menghadapi berbagai cobaan dari Tuhan Yang Mahakuasa ini.

Melawan Narasi Besar Islam Ideologis

Author: ICAL KARIM / Labels: , ,

Dewasa ini Umat Islam Indonesia sedang mengalami dekulturalisasi atas agamanya. Islam terlepas dari konteks ruang dan waktu dimana dia berada, dan hal ini akhirnya berujung pada terasingnya Islam dari pemeluknya. Dan anehnya dengan sadar maupun tidak, umat Islam-lah yang memegang peranan penting dalam melakukan dekulturalisasi Islam tersebut.

Keunikan daripada agama Islam adalah pada mudahnya Islam berinteraksi dengan berbagai macam kebudayaan yang ada sehingga menghasilkan karakteristik Islam yang unik sesuai dengan karakteristrik masyarakat dimana Islam bertumbuh kembang. Islam, tidak seperti yang disebutkan para orientalis, tidaklah disebarkan melalui pedang dan kekerasan melainkan melalui komunikasi dialogikal, dan juga tidak dalam sebuah struktur penguasaan (hegemoni) melainkan kesejajaran. Hal ini menghasilkan sebuah perkawinan yang sempurna antara Islam dan kultur pribumi yang ada. Dengan kata lain, Islamisasi yang dulu pernah terjadi di Indonesia adalah proses interaksi dan bukan proses penaklukkan sebagaimana biasanya sebuah agama disebarkan.

Namun semua itu berubah tatkala muncul Islam Ideologis yang muncul akibat tekanan modernitas yang diimpor dari negara-negara Timur-Tengah ke Indonesia. Saat pertumbuhan Islam Ideologis ini mengalami eskalasi di Indonesia, terjadi dekulturalisasi besar-besaran terhadap Islam yang telah harmonis dengan budaya pribumi, dan hal ini berakibat kepada adanya usaha-usaha mencerabut kembali Islam yang telah tertanam dalam budaya-budaya pribumi yang ada di Indonesia. Terjadi proses dikotomi diametral antara Islam dan kultur pribumi dimana seolah-olah keduanya bagaikan air dan minyak. Tak dapat disatukan.

Islam Ideologis merupakan sebuah bentuk penafsiran yang membuat Islam menjadi rigid, statis dan Jumud. Islam ideologis telah mereduksi Islam dari sebuah agama menjadi sekedar sebuah gerakan sosial-politik belaka. Islam ideologis menafikan konteks budaya dan masyarakat Islam yang berbeda-beda di setiap tempat dan menjadikan Islam yang multidimensional menjadi satu dimensi saja yaitu politik praktis yang termainfestasikan dalam bentuk aturan-aturan syari’at.

Totalisasi narasi Islam

Michael Foucault (listyono dkk:2006) menyatakan bahwa total history adalah sebuah usaha untuk menggambarkan semua fenomena di sekitar titik pusat yang tunggal, sedangkan general history sebaliknya berbicara tentang seri-seri segmentasi-segmentasi, batas-batas, perbedaan-perbedaan tingkatan, time lags, anakronistis-anakronistis dan kemungkinan jenis-jenis relasi. Dan selalu saja ada relasi kekuasaan (penguasa dan yang dikuasai) dengan sejarah karena sejarah lebih memiliki bentuk sebuah perang daripada sebua bahasa dan lebih memiliki hubungan-hubungan pemaknaan daripada hubungan-hubungan pemaknaan

Nah bila kita lihat dewasa ini, ada upaya-upaya yang nyata untuk menotalisasikan narasi-narasi sejarah Islam dan menafikan narasi-narasi kecil sejarah umat Islam khususnya Indonesia. Sejarah Islam yang selalu didengung-dengungkan kepada kita adalah sejarah kekhalifahan Islam di timur-tengah, sejarah mengenai perang salib, dan sejarah mengenai kehancuran daulah Utsmaniyah di Turki. Seolah-olah hanya itulah narasi Islam yang ada dan narasi Islam yang seperti itu terus diupayakan untuk mejadi titik sentral sejarah umat islam. Parahnya lagi narasi besar Islam itu membawa satu nilai budaya yang sifatnya parsial yaitu budaya Arab. Dan narasi inilah yang selalu dida’wahkan dan ditotalkan sebagai satu-satunya narasi Islam yang ada, keadaan ini membuat narasi-narasi kecil Islam yang ada mengalami proses marjinalisasi. Narasi-narasi kecil Islam kultural yang merupakan hasil dialektika antara Islamisasi dan indeginisasi dipinggirkan dari pusat dengan dibid’ahkan disesatkan dan bahkan dikafirkan oleh logika tafsir otoritatif sepihak. Padahal narasi sejarah Islam tidak hanya itu-itu saja. Terdapat berbagai narasi-narasi kecil Islam dalam setiap kebudayaan pribumi. Ada narasi Islam Kajang, Islam Jawa, Islam Ambon, Islam Makassa dan lain-lainya yang tersebar di seluruh kebudayaan. Di sini terjadi sebuah hegemoni narasi besar Islam ideologis melalui pemaknaan sejarah terhadap Islam-Islam kultural yang memiliki narasi sejarah yang berbeda dan unik.

Proyek-proyek utama narasi besar (Grand narrative) Islam Ideologis untuk memarjinalkan narasi-narasi kecil Islam Kultural adalah yang pertama dengan cara demistifikasi Islam. Proyek demistifikasi islam ini berujung pada keinginan untuk merasionalisasikan Islam. Padahal agama, sebagaimana yang dikemukakan oleh karen Armstrong (Armstrong 2002:XVIII), memiliki dua buah sisi, sisi yang pertama adalah sisi mitos dan yang kedua adalah sisi logos. Dengan mitos, sebuah agama dapat lebih menghayati dan menerima sebuah nilai spritualitas yang sifatnya abadi dan transendental, mitos biasanya terejawantahkan dalam bentuk-bentuk ritualisme. Sisi yang lain, logos, lebih bertujuan praksis dan terapan seperti aturan syari’ah, dan politik yang bersifat temporer. Dengan demistifikasi, Islam hanya menjadi sebuah alat untuk tujuan-tujuan praktis teknis seperti yang kita lihat eskalasinya di Indonesia dalam bentuk semakin maraknya perda-perda syari’at dan UU yang berbau syari’at tanpa adanya tempat bagi ekpresi keberagamaan kultural.

Yang kedua adalah depribumisasi Islam. Dibalik narasi besar Islam Ideologi secara ekplisit terdapat sebuah meta-narasi yang membangunnya yaitu narasi budaya Arab, oleh sebab itu proyek kedua narasi besar Islam Ideologis adalah depribumisasi Islam. Dengan begitu, berbarengan dengan proses ideologisasi Islam, maka seiring pula berlangsungnya arabisasi pribumi dengan mencabut akar-akar kultur pribumi dalam Islam. Tak heran bila Islam akhirnya identik dengan kata-kata Arab seperti ana, antum, ikhwan, akhwat, afwan, dll. Terlepas dari usaha counter-hegemony yang ingin dilakukan kalangan Islam Ideologis terhadap hegemoni budaya Barat yang brutal terhadap umat Islam, Islam Ideologis pun telah melakukan hegemoni baru bagi Islam-Islam Kultural yang dengan adanya proyek ini menjadi termarjinalkan dan terpinggirkan.

Perjuangan Islam kultural dalam menghadapi hegemoni narasi besar Islam Ideologis haruslah dilihat dalam sebuah kerangka berpikir yang emansipatoris, bahwa Islam Kultural pun berhak hidup dalam sebuah dunia dimana, seperti yang dinyatakan Michel Foucault, tidak ada Sejarah dengan ”S” besar, yang ada hanyalah sejarah-sejarah dengan ”s” kecil. Kerangka berpikir seperti ini menghasilkan sebuah keberagamaan yang lebih terbuka, tanpa prasangka dan tanpa adanya semangat kepemilikan mutlak narasi-narasi kebenaran.

Dengan diberikannya ruang bagi Islam kultural untuk hidup di bumi indonesia ini, artinya masih ada harapan akan adanya ruang untuk berekperimen dalam hal beragama sesuai dengan konteks kultural dalam masyarakat yang Islam menjadi agama dominan disana tanpa harus meninggalkan narasi-narasi kecil kultural masyarakat itu yang telah ada lama sebelum Islam datang. Dengan begitu Islam Indonesia kelak dapat menjadi contoh sebuah akulturasi yang sinergis antara narasi Islam dan narasi kultural pribumi. tanpa ada laginarasi besar yang menghegemoni, yang ada hanyalah, mengutip pernyataan Jurgen Habermas, dialog setara tanpa adanya kepentingan untuk menghegemoni pihak lain dan berusaha menghilangkan pihak lain tersebut.

Dekolonialisasi Identitas Indonesia

Author: ICAL KARIM / Labels:

Membaca identitas keindonesiaan bagaikan membaca teks yang berkelindan tiada henti hingga akhirnya kemenyatuan yang menyeluruh dari identitas itu tampak tidak akan pernah diketemukan bahkan untuk dilihat secara sekilas. Teks yang berjalin-kelindan membentuk identitas keindonesian tersebut tak lain adalah identitas-identitas minor yang majemuk dalam semesta identitas di Indonesia.
Keberagaman identitas ini semestinya hadir dalam identitas keindonesiaan yang kita sebut sebagai Bangsa Indonesia. Dalam alam demokrasi yang sedang tumbuh di negeri ini, identitas kebangsaan tidaklah ditentukan oleh seberapa besar jumlah pendukung salah satu identitas yang ada, melainkan ditentukan oleh pemaknaan dari setiap kelompok dalam masyarakat.
Menggunakan terminologi Homi K. Bhabha, Identitas keindonesian yang majemuk mesti hadir dalam ruang ambang liminal interaksi masyarakat. Semesta liminal inilah yang menjadi ruang sempurna bagi kehadiran identitas Keindonesiaan yang ragam dan majemuk. Ruang ambang liminial Bhabha ini, dapat kita definisikan sebagai ruang dimana identitas-identitas yang ada tidak saling menaklukkan dan tetap berada pada keadaan ketidakmanunggalan identitas. Bila sebuah identitas dominan dalam ruang ambang liminal ini merepresentasikan keseluruhan identitas maka akan terjadi kekerasan identitas kepada identitas minor yang kehilangan tempatnya dalam ruang ambang liminal ini.
Setidaknya terdapat dua hal yang selama ini dianggap sebagai pembentuk identitas keindonesiaan kita. Yang pertama adalah proses kolonialisasi dan yang kedua adalah kesadaran anak “elit” pribumi atas identitasnya.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa Identitas Keindonesiaan terbentuk melalui sebuah proses evolusi kesadaran anak-anak bangsa yang terkonstruksi dalam historisitas waktu. Merujuk pada pendapat Driyarkara, identitas Keindonesiaan merupakan proses perjalanan tiap pelaku, aktor, subjek “manusia Indonesia” yang berjuang dengan pikiran cerdas, batin hening untuk mencipta struktur-struktur hidup bersama yang makin manusiawi. Tentu subjek manusia Indonesia yang dimaksud Driyarkara bukanlah keseluruhan “manusia Indonesia” melainkan merujuk pada manusia-manusia besar Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, dan Tan malaka. Mereka yang dikenal sebagai founding fathers inilah yang membentuk karakter bangsa. Identitas Indonesia pada dasarnya tidak ada pada alam realitas sesunguhnya. Identitas Indonesia dikonstruksi dalam alam kognitif para pribumi terbaik bangsa. Merekalah peletak dasar identitas Keindonesiaan kepada kita. Pada era Orla, tak heran bila identitas kita sebagai bangsa Indonesia merupakan bentukan dari pikiran Bung Karno mengenai apa itu Indonesia. identitas Keindonesiaan yang hipermultikultural tereduksi oleh national building yang dilakukan Bung Karno.

Proses kolonialisasi selama berabad-abad turut membentuk identitas kita sebagai orang Indonesia. pada satu sisi, batas imajiner bernama nation-state peninggalan Belanda menjadi penyatu identitas multikultural keindonesiaan. Di sisi lain, ia membelenggu berbagai identitas-identitas minor yang ada dalam sekat tunggal bernama Negara Indonesia. Tetapi kolonialisasi bangsa penjajah bertransformasi menjadi kolonialisasi negara. Kekerasan identitas oleh identitas negara (baca: identitas dominan) terhadap identitas minor tak dapat terelakkan. Era Orde Baru adalah era yang paling kentara memperlihatkan bagaimana identitas dominan (Jawa) merepresi identitas minor lainnya. Kita tahu bagaimana pada era Orba, pakaian kebaya khas jawa menjadi pakaian resmi pejabat pemerintah. Kolonialisme tak lagi dilakukan oleh pemerintah kolonial, melainkan oleh negara.

Sampai disini, terlihat konstruksi Keindonesiaan merupakan konstruksi yang delusif dan rapuh. Ia terbentuk tanpa adanya partisipasi dari kesadaran narasi-narasi kecil local genius yang hidup di Indonesia.

Namun sungguh menyedihkan apabila kita menengok kembali identitas Keindonesiaan kita dewasa ini. Pasca reformasi, pembentukan identitas Keindonesiaan tidak hanya dibentuk oleh dua kondisi diatas. Di era ini, Identitas Keindonesiaan dibentuk oleh kondisi sistemik politik internasional yang secara dinamis terus bergolak. Sebagai salah satu aktor dalam jagat sistem internasional, interaksi antara Indonesia dengan negara besar serta posisi Indonesia dalam arena internasional turut membentuk identitas Indonesia secara exogenous.

Pada era Megawati Soekarno Putri, identitas kita adalah negara demokratis terbesar di dunia. Padahal selama enam puluh tanun masa mengisi kemerdekaan, kita tidak pernah menjadi bangsa yang benar-benar demokratis. Tidak ada kesadaran akan demokrasi di bangsa ini. kalaupun ada pemilu itu bukanlah ajang demokrasi melainkan ajang para elit untuk berebut peran dalam teater politik di negara ini. Apa daya realitas berkata lain, kondisi sistemik internasional mengharuskan kita untuk menjadi negara demokratis agar dapat menjadi contoh bagi negara-negara berkembang lainnya untuk memeluk demokrasi sebagai jalan hidup bernegara.

Namun perubahan struktur internasional terjadi. Penyerangan beruntun AS terhadap negara-negara mayoritas muslim menyebabkan bangkitnya fundamentalisme di negara-negara berpenduduk Muslim baik di Timur-Tengah sendiri maupun wilayah-wilayah lain di luar Timur-Tengah. Musuh utama AS bukan lagi negara non-demokratis melainkan fundamentalisme Islam. Pada Era SBY, identitas kita pun terpaksa berubah dari negara demokratis menjadi negara Muslim Moderat. Indonesia pun sekali lagi diproyeksikan menjadi contoh untuk negara mayoritas muslim lainnya terutama di Timur-Tengah dalam bagaimana seharusnya berislam. Sejak kapan kita menjadi negara muslim moderat. Adakah identitas tersebut sebelum terjadinya perubahan sistem internasional? Betapa rapuhnya identitas Keindonesiaan yang mesti berubah seiring perubahan konstelasi internasional yang ada. Anehnya pemerintah bangga menjadikannya sebagai atribut kita di kancah internasional.

Dari awal berdirinya, Bangsa ini tidak pernah benar-benar mendefinisikan identitasnya. Pada era Soekarno, Indonesia adalah apa yang dipikirkan beliau. Pada Era Soeharto, Indonesia adalah Jawa. Era pasca reformasi, Indonesia adalah apa yang dipersepsikan negara lain untuk kepentingan mereka. Lalu siapa kita? Bukan siapa-siapa.

Pada akhirnya bangsa ini hanya menjadi semacam a gestative political structure dari pada simply an allegory or imaginative vision. Franz Fanon telah memperingatkan kepada kita bahwa, bangsa, alih-alih merangkul harapan seluruh anak negeri, malah tak lain adalah tempurung kosong yang kasar dan parodi rapuh yang tak memiliki pemaknaan apa pun di dalamnya. Itukah kita?

Kapitalisme Global dan dehumanisasi Manusia

Author: ICAL KARIM / Labels: ,

Kapitalisme global yang sekarang menjadi sebuah kekuatan yang tak terjamah menjadi sesuatu hal yang menakutkan bagi Negara-negara dunia ketiga. Kapitalisme global sekarang bisa disebut sebagai Leviathan dunia. Secara singkat kapitalisme global (global capitalism) dapat didefinisikan sebagai bentuk kapitalisme yang berskala global, yang terutama didukung oleh berbagai mekanisme-mekanisme struktural dan lembaga-lembaga multinasional. Karakteristik dari kapitalisme global ialah cakupannya yang mengglobal dan prinsip utamanya yaitu persaingan.
Sedangkan dehumanisasi manusia merupakan sebuah bentuk ekploitasi manusia dalam bentuknya yang beragam yang mengekang manusia dari kebebasan hakiki yang dimilikinya. Dehumanisasi ini terkadang diikuti dengan ketundukan manusia yang didehumanisasi dengan yang mengekploitasi dirinya.Lantas hubungan apa yang ada antara kapitalisme dan dehumanisasi manusia? Tulisan ini akan sedikit mengekplore lebih jauh kapitalisme global untuk menjawab pertanyaan diatas.
Sejarah perkembangan Kapitalisme
Kapitalisme yang lahir dari rahim peradaban barat merupakan titik kulminasi dari berbagai macam peristiwa yang terjadi di tanah Eropa. Secara lebih spesifik, kemunculan kapitalisme berkaitan erat dengan munculnya gerakan protestanisme di Eropa. Gerakan yang menentang otoritas gereja katolik yang tiranik ini berhasil mempengaruhi sejarah peradaban barat selanjutnya.
Seperti yang dideskripsikan dengan baik oleh Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber melihat bahwa kemunculan kapitalisme terkait dengan doktirn predestinasi atau doktrin takdir yang terdapat dalam teologi protestan. Menurut Weber, ajaran protestan memiliki ajaran mengenai predestinasi ganda dimana kaum protestan tidak mengetahui apakah mereka termasuk kelompok yang termasuk orang terpilih atau termasuk kaum terkutuk. Bila dalam teologi katolik terdapat doktrin bahwa siapa saja yang menyandarkan diri pada gereja maka akan menemui keselamatan tetapi tidak demikian dalam ajaran protestan yang tidak mengakui otoritas gereja yang tiranik. Sehingga mereka harus mencari jalan menuju keselamatan mereka masing-masing. Ajaran ini mendorong terciptanya etika individualisme dalam ajaran protestant yang menjadi inti peradaban barat. Akhirnya umat protestant terpaksa mencari certitudo salutis yang didefinisikan oleh Weber sebagai indikasi bahwa mereka termasuk orang-orang yang terpilih. Oleh karena itu kemakmuran dan kekayaan yang didapatkan di dunia menjadi semacam tanda dari Tuhan bahwa mereka yang berhasil di dunia merupakan orang-orang yang terpilih begitu juga sebaliknya.
Negara-negara Eropa Barat mendominasi Eropa dengan semangat kapitalisme ini. Negara-negara ini terus melakukan akumulasi modal. Keuntungan yang didapatkan lalu menjadi modal bagi usaha baru dan terus berakumulasi. Pada akhirnya akumulasi modal di daratan eropa sudah mencapai tingkat tertingginya, untuk itu para kapitalis harus mencari daerah pemasaran baru dan daerah penghasil bahan baku. Untuk itu instrument proliferasi kapitalisme yang paling manjur adalah kolonialisme.
Hingga akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 munculnya nasionalisme pada bangsa-bangsa terjajah membuat instrument kolonialisme mulai tidak efektif, terlebih akhir PD 2 menghasilkan declaration of Human Right yang secara ekplisit menentang penjajahan. Instrument baru bagi proliferasi kapitalisme ke seluruh dunia adalah melalui berbagai macam institusi supranasional seperti IMF dan Bank Dunia yang dibentuk di pertemuan Bretton Woods.
Hingga sekarang proliferasi kapitalisme terus berlangsung dengan nama baru seperti utang luar negeri dan investasi asing. Melalui instrumen narasi besar kapitalisme yang bernama globalisasi, maka dunia telah berada pada kekuasan jejaring kapitalisme global.
Nilai guna ke ekploitasi hasrat dalam sistem kapitalismeDasar kapitalisme sekarang tidak lagi berbasiskan persediaan yang ada tetapi berbasiskan permintaan. Oleh karena itu kapitalisme hidup dari proses konsumsi pada sebuah masyarakat. Dan proses konsumsi yang dilakukan masyarakat yang dikonstruksi oleh kapitalisme tidak lagi menggunakan logika fungsi tetapi menggunakan logika hasrat. Kondisi dimana proses konsumsi yang menggunakan logika hasrat ini bisa disebut sebagai masyarakat konsumerisme.
Masyarakat seperti ini sengaja dikonstruksi oleh kapitalisme global. Masyarakat konsumer ini terkadang berpikir bahwa mereka bebas mengkonsumsi apa saja yang mereka inginkan. Tetapi masyarakat ini lupa bahwa segala hal yang mereka konsumsi merupakan konstruksi para kapitalis global. Dengan kata lain mereka mengkonsumsi apa yang telah dikonstruksi kapitalis untuk dikonsumsi. Masyarakat konsumer ini merasa merekalah yang memegang kendali atas barang-barang yang mereka beli dan punyai tetapi sebenarnya seperti yang dikatakan Budrillard barang-barang tersebutlah yang menguasi para konsumen ini.
Kita dibuat bingung dengan munculnya budaya pop (pop culture) pada pertengahan dan abad ke-20 dan menjadi lebih parah pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. dimana dengan peran media seperti televisi membuat generasi muda menjadi tergila-gila dengan para penyanyi dan artis-artis terkenal yang sering muncul di televisi. Muncul pada beberapa dasawarsa terakhir apa yang disebut MTV yang menjadi salah satu pengekspor budaya pop. Juga tak lupa film-film yang diproduksi oleh Hollywood.
Budaya pop merupakan salah satu contoh beralihnya logika fungsi suatu komoditi menjadi logika hasrat yang diekploitasi kapitalisme pada diri manusia. Bagaimana kapitalisme membuat dan mengkonstruksi sebuah komoditi baru yaitu budaya pop ini untuk kemudian dikonsumsi oleh masyarakat. Bagaimana sebuah tiket konser seorang artis terkenal bisa mencapai puluhan juta rupiah hanya dengan menyanyi pada sebuah panggung hanya selam satu jam. Delueuze dan Guattari menyatakan masyarakat kapitalisme akhir seperti ini sebagai Skizofrenia.
Masyarkat konsumeristik yang bisa disebut masyarakat kapitalisme akhir ini dibuai dengan citraan dan imagi-imagi yang menurut Umberto Eco imaji-imaji dan ctraan-citraan yang dikonsumsi masyarakat kapitalisme akhir ini adalah sebuah dunia hiperealitas, realitas yang tidak memiliki rujukan pada realitas yang asli. Bahkan realitas itu sendiri menjadi menghilang dan menghasilkan simulacrum-duplikasi dari duplikasi.
Masyarakat kapitalisme akhir yang bertumpu pada asumsi-asumsi modernitas tidak lagi menjadi masyarakat yang rasional dalam memutuskan. Tidak ada lagi pilihan-pilihan rasional dalam dunia yang dikuasai oleh logika hasrat. Yang menjadi tolak ukur masyarakat kapitalisme akhir ini adalah proses konsumsi. Adagium Descartes yang menyatakan Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada) telah berubah menjadi aku mengkonsumsi maka aku ada. Status sosial diukur dari apa yang kita punya (konsumsi). Membeli kopi lebih prestisius di starbuck dari pada di warung kopi. Nonton bioskop lebih ”bergaya” di planet hollywood dari pada di bioskop lokal di daerah pinggiran Jakarta. Berjalan-jalan di Pondok Indah Mall lebih ”wah” dari pada berjalan-jalan di pasar tanah abang. Manusia kapitalisme akhir lebih suka mengkonsumsi tanda dan citraan daripada memakai logika fungsi. Satu kalimat yang bisa menggambarkan keadaan seperti ini; matinya rasionalitas manusia.
Objektivikasi manusia Berujung Ekploitasi ManusiaObjektivikasi merupakan salah satu hasil pemikiran Hegel. Hegel beranggapan adanya dialektika dalam tataran ide yang terus-menerus berdialektika dalam sejarah yang pada akhirnya menemukan titik akhirnya yaitu spirit absolut yang merupakan penjelmaan kebenaran absolut. Hegel dalam dialektikanya melakukan pembedaan antara subjek-objek yang merupakan tradisi dualistik rasionalisme Descartes. Dengan adanya dualisme subjek-objek, maka dunia dilihat sebagai relasi subke-objek. Dimana objek merupakan hasil karya dari subjek. Dalam paradigma hegelian yang juga menjadi dasar modernitas menyiratkan bahwa objektivikasi merupakan sebuah dinamika subjek sebagai pencipta yang selalu mengekpresikan dirinya dalam objek ciptaannya itu.
Beda dengan Hegel, marx melihat proses objektivikasi sarat akan ekploitasi atas pekerja. Karena dalam kapitalisme, relasi antara subjek yang menciptakan dengan objek yang diciptakan terhalang disebabkan subjek yang menciptakan objek-objek itu terikat pula dengan kaum pemilik modal yang memiliki pekerja itu sendiri. Dengan kata lain hasil karya dari pekerja itu yang seharusnya menjadi milik pekerja itu sendiri sekarang tidak lagi dimiliki oleh para pekerja melainkan dimiliki oleh kaum pemilik modal.
Pada masa kita sekarang relasi antara subjek dan objek berada dalam kerangka konsumsi. Dimana masyarakat kapitalisme akhir hanyut dalam proses konsumerisme. Sebenarnya pada masyarakat ini tidak ada lagi pembedaan antara subjek dan objek, bahkan manusia pun menjadi komoditi yang dapat dijadikan objek. Bila dalam terminologi Marx, pemilik tenaga kerja yaitu pekerja telah diobjektivikasi oleh para pemilik modal. Jadi tidak hanya barang yang dihasilkan pekerja yang menjadi objek tetapi pekerja yang membuat komoditi itu pun telah menjadi objek dari para pemilik modal.
Disini terjadi apa yang disebut dehumanisasi manusia. Pada situasi ini manusia tidak lagi diposisikan sebagai subjek melainkan telah dijadikan objek oleh manusia yang lainnya.Setelah terobjektifikasikan, manusia lalu diekploitasi tidak hanya tenaga kerjanya seperti yang dikatakan Marx, tetapi lebih jauh pada masyarakat kapitalisme akhir ini tubuh pun juga diekploitasi. Pengekploitasian tubuh manusia ini tak hanya dalam rangka pemenuhan logika hasrat masyarakat konsumerisme tetapi juga dalam rangka mengekploitasi tanda-tanda dan citran-citraan yang terdapat dalam tubuh manusia itu. Seperti citraan sensualitas dan seksualitas.
Kita melihat bagaimana simbol sensualitas wanita dan simbol maskulinitas pria diekploitasi sedemikian rupa hanya sebagai mendukung proses distribusi suatu komoditi. Dalam iklan, jeans selalu digunakan oleh wanita seksi dan pria seksi. Handphone selalu dipegang oleh wanita yang berpenampilan menarik. Iklan merupakan salah satu saluran ekploitasi tanda-tanda di tubuh manusia.
Kita mengenal sebuah profesi yang disebut sebagai sales promotion girl, dimana sang wanita yang berpenampilan seksi menawarkan produk yang diproduksi perusahaan yang membayarnya. Sales promotion girl merupakan sebuah bentuk ekploitasi citraan-citraan tubuh manusia. Tidak hanya itu, profesi-profesi seperti cover girl, model, peragawati dan banyak profesi-profesi lainnya merupakan hasil konstruksi budaya kapitalisme yang berkolaborasi dengan budaya patriakhis.
Ekploitasi manusia ini pun tidak berhenti pada tataran pekerja, konsumen pun juga tak terhindarkan dari ekploitasi ini. Bila pekerja diekploitasi tenaganya maka konsumen diekploitasi hasratnya sehingga mereka tidak lagi berperilaku rasional dalam proses mengkonsumsi.
Pada saat sekarang ini tidak ada lagi garis batas antara wilayah publik dan wilayah privat. Sekarang yang ada hanyalah wilayah publik. Demi memenuhi logika hasrat manusia, wilayah privat pun bebas untuk dikonsumsi secara publik. Bukan hanya barang-barang komoditi saja yang di objektivikasi, bahkan tubih manusia pun dijadikan komoditi yang dapat dikonsumsi secara massal.
Hebatnya lagi secara tidak sadar manusia dalam zaman kapitalisme akhir ini tidak sadar bahwa dunia mereka adalah dunia hasil rekayasa kapitalis global. Mereka mereka bebas memilih dan menjadi apa saja yang mereka inginkan tetapi kebebasan mereka memilih tidak sepenuhnya bebas karena pilihan-pilihan yang ditawarkan telah diatur sebelumnya.
Ekploitasi yang terjadi atas tubuh manusia ini tidaklah bernama ”ekploitasi” karena atas nama ”kebebasan” hal itu tidak lagi menjadi sebuah bentuk eklpoitasi. Dengan adagium semua orang berhak untuk berekpresi, maka kapitalisme mempunyai kekuatan untuk mengekploitasi secara legal dan juga dengan persetujuan orang yang diekploitasi. Kapitalisme melakukan ”controlling the publik mind” melalui perantara-perantara seperti TV, music, pendidikan dan hegemoni makna kata-kata ”sakti”. Dengan instrumen-instrumen itu maka kapitalisme tanpa kita sadari telah melakukan soft hegemony terhadap diri kita.
Kapitalisme juga menghegemoni makna-makna yang sangat berpengaruh di masyarakat. Merekalah yang punya hak menentukan apa arti kebebasan, demokrasi, hak asasi manusia, terorisme dan segala macam makna yang berlaku di masyarakat. Dengan menghegemoni makna yang ada secara tidak langsung mereka menghegemoni kebenaran (signified) yang terkandung dalam kata-kata ”sakti” tersebut (signifier).
Kapitalisme dan ekploitasi makna Demokrasi
Menurut Noam Chomsky, demokrasi tak lain adalah demokrasi pasar. Fareed zakaria dalam bukunya yang berjudul masa depan kebebasan, demokrasi hanyalah suatu hal yang semua (pseudo democracy) bila tidak diikuti oleh liberalisme. Bisa disimpulkan demokrasi yang benar adalah demokrasi yang mengakomodir kebebasan yang terkonstruksi dalam kerangka pasar (kapitalisme).
Kapitalisme tidak hanya berlaku pada tataran ekonomi an sich tetapi menjalar keseluruh segi kehidupan masyarakat. Sudah pasti dalam bidang politik, kapitalisme sangat kuat mempengaruhi. Demokrasi berfungsi tak lain hanya unstuck memberikan jalan kepada kapitalisme unstuck menguasai suatu wilyah. Demokrasi seolah-olah tidak memiliki makna yang berarti. Semua orang berhak berteriak menegakkan demokrasi tetapi apa itu demokrasi. Kata ”demokrasi” yang merupakan signifier sudah tidak memiliki signified dibaliknya.
Demokrasi juga menjadi alat penyeragaman bagi umat manusia. Tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu demokrasi diklaim sebagai sebuah bentuk sempurna dari sebuah sistem pemerintahan. Demokrasi diklaim sebagai nilai yang paling universal di dunia sekarang. Negara-negara kapitalis sekeakan tidak memberi ruang bagi penafsiran alternatif bagi demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang berintikan liberalisme haruslah dipaksakan kepada seluruh umat manusia agar tercipta perdamaian. Bahkan seorang woodrow wilson memutuskan membawa AS memasuki PD I karena ingin menyebarkan demokrasi.
Tetapi pada saat yang sama kita dibuat bingung dengan didukungnya pemerintahan-pemerintahan yang tidak demokratis yang uniknya merupakan sekutu Amerika serikat dan negara-negara kapitalis. Apakah sebuah negara yang tidak demokratis dan tidak mendukung kapitalisme global harus dimusnahkan atas nama demokrasi sedangkan negara yang tidak demokratis tetapi memberikan tempat kepada kapitalisme global tidak dimusnahkan, karena bila demokrasi diterapkan maka negara-negara tersebut akan menolak kapitalisme global.
Kita lebih dibuat bingung lagi, disaat sebuah negara menyelenggarakan pemilu yang sangat demokratis malah diembargo hingga rakyat negara tersebut kelaparan. Apakah karena melakukan praktek demokrasi, rakyat di suatu negara harus dihukum. Ini sebuah pembuktian bahwa demokrasi tidak bermakna apa-apa kecuali sebagai alat kapitalisme global untuk menguasai negara-negara di dunia.
Epilog: kapitalisme; sebuah hegemoni (grand narrative) peradaban besar untuk menaklukkan the others.
Di millennium ketiga sekarang ini, kapitalisme tidak memberi ruang bagi paradigma ekonomi alternative untuk hidup. Dengan berbagai macam instrument instutusional supranasional seperti IMF dan World Bank, kapitalisme terus melakukan proliferasi keseluruh penjuru dunia. Dunia terus menciut hingga menjadi Global Village. Dengan adanya global village ini terjadi penyeragaman dunia yang sebenarnya sangat beragam. Narasi-narasi besar dunia dibawah kapitalisme, seperti liberal demokrasi, universal human rights, kebebasab sekarang menguasai dunia dan tidak menyisakan ruang bagi narasi-narasi kecil.Kapitalisme menjadi alat hegemoni bagi peradaban besar untuk menaklukan peradaban-peradaban kecil. Dengan kapitalisme, Negara-negara kapitalis terus menjaga posisi mereka pada titk sentral (core) dalam struktur system dunia dan akan selalu menjaga Negara-negara kecil untuk terus berada dalam zona periphery.Sudah seharusnya peradaban bear (barat) untuk menghargai dan memberi ruang hidup bagi nilai-nilai yang tidak sejalan dengan nilai universalitas barat. Dunia bukanlah hanya sekedar monopoli wacana barat. Setiap peradaban berhak menpersepsikan dunia di mana mereka tinggal. Peradaban di dunia tidaklah seharusnya menjadikan kapitalisme sebagai landasan segala sesuatu. Dunia punya hak untuk memilih paradigma apa yang pas buat mereka.

Meretas Pedagogi Pascakolonial

Author: ICAL KARIM / Labels:

Pendidikan adalah praktik mewariskan pengetahuan dari generasi terdahulu kepada generasi selanjutnya. Pendidikan merupakan pengetahuan dalam mendefinisikan dunia realitas yang terhampar di depan kita. Pentingnya fungsi pendidikan membuat pendidikan menjadi alat kuasa dalam mengatur masyarakat. Tak salah bila di satu sisi, Gramsci menyatakan pendidikan adalah alat penting hegemoni negara melalui domination by consent, dan di sisi lain, Freire mengedepankan pentingnya pendidikan sebagai kunci sukses membuka kesadaran kritis masyarakat.

Bila kita menengok realitas pendidikan Indonesia, terlihat jelas bahwa praktik pendidikan di Indonesia beroperasi dalam kondisi yang masih bersifat kolonial. Pada tataran wacana, pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh wacana-wacana yang lahir dalam kesadaran akan merengkuh kebenaran mutlak. Hal ini terlihat dari fungsi pendidikan yang membentuk watak masyarakat yang membungkam versi kebenaran yang lain dari mayoritas yang disepakati benar.

Sedangkan pada tataran praksis, pendidikan di Indonesia tak dapat melayani rakyat kecil apalagi mencerdaskannya. Mirisnya lagi, pendidikan di Indonesia ternyata hanya melayani kaum berduit yang akan menjadi pintar untuk selanjutnya mengekploitasi rakyat kebanyakan yang bodoh. Inilah kenyataan pahit realitas pendidikan Indonesia. tak ayal lagi, pendidikan di Indonesia masih merupakan pendidikan kolonial.

Pendidikan Kolonial
Gayatri Spivak dalam esainya “the Burden of English” menegaskan adanya praktik-praktik pengajaran kolonial melalui pembentukan ideologi penjajah dalam pengajaran sastra Inggris di India. Tentu praktik-praktik tersebut terselubung dan tidak disadari oleh kebanyakan orang.

Kita tentu juga dapat melihat praktik-praktik tersebut dalam literatur-literatur pendidikan di Indonesia khususnya pada era Soeharto. Teks pelajaran Ekonomi hanya memuat keberhasilan pembangunan di Indonesia. Teks pelajaran Sejarah hanya menceritakan kehebatan rezim Orba. Teks-teks pelajaran lainnya pun tak terlepas dari praktik-praktik kolonial ini. Berbeda dengan di India, ideologi penjajah tersebut tak lain adalah rezim Orba. Spivak menyarankan agar setiap pembacaan terhadap sebuah teks harus dibaca secara kritis dengan diberi tanda kurung agar tidak terpeleset dalam teks ideologi kolonial.

Berkedok politik etis, pemerintah kolonial Belanda membangun sekolah-sekolah untuk bumiputera dengan tujuan menjadikan putra-putra Pribumi orang-orang yang terdidik. Namun pemerintah Belanda hanya membangun sekolah-sekolah yang mencetak individu-individu pekerja tanpa memiliki kesadaran kritis. Meminjam konsep Jurgen Habermas, Belanda menciptakan manusia-manusia dengan rasio instrumental dan bukan rasio kritis. Alhasil, individu-individu didikan Belanda berfungsi sebagai pegawai-pegawai rendahan Belanda.

Pandangan yang paling menggelitik dan mungkin paling esktrem mengenai pendidikan diutarakan oleh seseorang bernama Alan J. Bishop. Bishop menganggap ilmu matematika “Barat” merupakan senjata rahasia imperialisme kultural yang dilakukan oleh Barat. Selama ini kita beranggapan matematika merupakan ilmu pengetahuan universal tanpa sedikit pun melihat adanya intervensi kultural di dalamnya. Namun kenyataannya, matematika, layaknya ilmu sosial, merupakan humanly constructed. Bishop mencontohkan mengapa sistem penomoran matematis hanya sampai sepuluh bila pada saat yang bersamaan di Papua Nugini bisa mencapai 700’an? Mengapa kita sangat meyakini geometri Euclidean yang atomistik dan object-oriented bila pada saat yang bersamaan suku Navajos melihat ruang bukan sebagai objek solid melainkan sebagai ruang motion? Bishop berargumen bahwa matematika telah menjadi simbolisasi akan adanya universalisme yang kokoh dalam alam realitas, serta adanya value-free dalam pengetahuan. Kesemuanya mengarahkan kita untuk percaya akan adanya universalisme kebenaran.

Pendidikan Pascakolonial
Kita dapat menafsirkan kritik pedas Bishop terhadap Matematika ini dalam kerangka proyek penghancuran kebenaran mutlak dalam dunia pendidikan. Pendidikan sudah semestinya tidak diarahkan untuk mengkultuskan apa yang dipelajari sebagai suatu hal yang paling benar. Pendidikan merupakan transfer pengetahuan yang tidak mengklaim kebenaran melainkan hanya menceritakan narasi kebenaran partikular.

Harus ada semacam kesadaran bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang terus dikritik dan dikritik sehingga akhirnya pendidikan sebagai medium penumbuhan kesadaran kritis dapat terwujudkan. Ciri pendidikan kolonial yang selalu merasa benar sendiri dan selalu menghegemoni “yang lain”, dengan sendirinya terusir dari corak pendidikan di Indonesia. bila pendidikan di Indonesia masih bercirikan kolonial maka pendidikan hanya akan menjadi alat kekuasaan sekelompok orang tertentu yang haus kuasa. Pendidikan yang mengklaim otoritas kebenaran akhirnya akan menjadi sarana pembodohan paling efektif di Indonesia.

Meminjam istilah Homi K. Bhabha, pendidikan Indonesia sudah seharusnya menjadi ruang ambang liminal yang di dalamnya wacana akan terus saling melengkapi tanpa saling menaklukkan dan akan selalu berada pada keadaan ketidakmanunggalan. Kondisi ini menghasilkan pendidikan Indonesia yang tidak menghegemoni kearifan-kearifan lokal yang dipersepsikan sebagai musuh dari pengetahuan. Pendidikan di Indonesia harus dapat menciptakan hibriditas kebenaran dimana kebenaran tidak dianggap sebagai satu yang manunggal melainkan terpecah-pecah dalam serpihan pluralitas narasi minor kebenaran.

Dengan mendekonstruksi ruang bagi kebenaran mutlak, pendidikan di Indonesia tidak hanya sebatas transfer ilmu pengetahuan an sich, melainkan menjadi sebuah proses dinamisasi ke arah pembentukan otensitas (watak) generasi negeri ini di masa mendatang. Generasi muda tidak hanya disuapi oleh ilmu pengetahuan teknis (baik alam maupun sosial) yang menjadi roda untuk menjalankan tatanan status quo yang ada. Sebaliknya, generasi muda dapat terus melakukan problematizing terhadap tatanan yang ada dengan mengkritisi pengetahuan yang ia dapatkan tanpa takut untuk dicap tidak berpendidikan, tidak beragama atau bahkan gila. Inilah ciri pendidikan pascakolonial. Pendidikan yang tidak terjajah oleh Barat, tidak terjajah oleh segelintir penguasa, pun dalam beberapa hal juga tidak terjajah oleh doktrin sempit agama.

Mungkinkah kita dapat mewujudkan pendidikan pascakolonial di Indonesia? Jawabannya terletak pada intelektual-intelektual serta pendidik-pendidik Indonesia. Apakah mereka sudah siap untuk memasuki tahap pendidikan pascakolonial atau malah sebaliknya.