Membaca identitas keindonesiaan bagaikan membaca teks yang berkelindan tiada henti hingga akhirnya kemenyatuan yang menyeluruh dari identitas itu tampak tidak akan pernah diketemukan bahkan untuk dilihat secara sekilas. Teks yang berjalin-kelindan membentuk identitas keindonesian tersebut tak lain adalah identitas-identitas minor yang majemuk dalam semesta identitas di Indonesia.
Keberagaman identitas ini semestinya hadir dalam identitas keindonesiaan yang kita sebut sebagai Bangsa Indonesia. Dalam alam demokrasi yang sedang tumbuh di negeri ini, identitas kebangsaan tidaklah ditentukan oleh seberapa besar jumlah pendukung salah satu identitas yang ada, melainkan ditentukan oleh pemaknaan dari setiap kelompok dalam masyarakat.
Menggunakan terminologi Homi K. Bhabha, Identitas keindonesian yang majemuk mesti hadir dalam ruang ambang liminal interaksi masyarakat. Semesta liminal inilah yang menjadi ruang sempurna bagi kehadiran identitas Keindonesiaan yang ragam dan majemuk. Ruang ambang liminial Bhabha ini, dapat kita definisikan sebagai ruang dimana identitas-identitas yang ada tidak saling menaklukkan dan tetap berada pada keadaan ketidakmanunggalan identitas. Bila sebuah identitas dominan dalam ruang ambang liminal ini merepresentasikan keseluruhan identitas maka akan terjadi kekerasan identitas kepada identitas minor yang kehilangan tempatnya dalam ruang ambang liminal ini.
Setidaknya terdapat dua hal yang selama ini dianggap sebagai pembentuk identitas keindonesiaan kita. Yang pertama adalah proses kolonialisasi dan yang kedua adalah kesadaran anak “elit” pribumi atas identitasnya.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa Identitas Keindonesiaan terbentuk melalui sebuah proses evolusi kesadaran anak-anak bangsa yang terkonstruksi dalam historisitas waktu. Merujuk pada pendapat Driyarkara, identitas Keindonesiaan merupakan proses perjalanan tiap pelaku, aktor, subjek “manusia Indonesia” yang berjuang dengan pikiran cerdas, batin hening untuk mencipta struktur-struktur hidup bersama yang makin manusiawi. Tentu subjek manusia Indonesia yang dimaksud Driyarkara bukanlah keseluruhan “manusia Indonesia” melainkan merujuk pada manusia-manusia besar Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, dan Tan malaka. Mereka yang dikenal sebagai founding fathers inilah yang membentuk karakter bangsa. Identitas Indonesia pada dasarnya tidak ada pada alam realitas sesunguhnya. Identitas Indonesia dikonstruksi dalam alam kognitif para pribumi terbaik bangsa. Merekalah peletak dasar identitas Keindonesiaan kepada kita. Pada era Orla, tak heran bila identitas kita sebagai bangsa Indonesia merupakan bentukan dari pikiran Bung Karno mengenai apa itu Indonesia. identitas Keindonesiaan yang hipermultikultural tereduksi oleh national building yang dilakukan Bung Karno.
Proses kolonialisasi selama berabad-abad turut membentuk identitas kita sebagai orang Indonesia. pada satu sisi, batas imajiner bernama nation-state peninggalan Belanda menjadi penyatu identitas multikultural keindonesiaan. Di sisi lain, ia membelenggu berbagai identitas-identitas minor yang ada dalam sekat tunggal bernama Negara Indonesia. Tetapi kolonialisasi bangsa penjajah bertransformasi menjadi kolonialisasi negara. Kekerasan identitas oleh identitas negara (baca: identitas dominan) terhadap identitas minor tak dapat terelakkan. Era Orde Baru adalah era yang paling kentara memperlihatkan bagaimana identitas dominan (Jawa) merepresi identitas minor lainnya. Kita tahu bagaimana pada era Orba, pakaian kebaya khas jawa menjadi pakaian resmi pejabat pemerintah. Kolonialisme tak lagi dilakukan oleh pemerintah kolonial, melainkan oleh negara.
Sampai disini, terlihat konstruksi Keindonesiaan merupakan konstruksi yang delusif dan rapuh. Ia terbentuk tanpa adanya partisipasi dari kesadaran narasi-narasi kecil local genius yang hidup di Indonesia.
Namun sungguh menyedihkan apabila kita menengok kembali identitas Keindonesiaan kita dewasa ini. Pasca reformasi, pembentukan identitas Keindonesiaan tidak hanya dibentuk oleh dua kondisi diatas. Di era ini, Identitas Keindonesiaan dibentuk oleh kondisi sistemik politik internasional yang secara dinamis terus bergolak. Sebagai salah satu aktor dalam jagat sistem internasional, interaksi antara Indonesia dengan negara besar serta posisi Indonesia dalam arena internasional turut membentuk identitas Indonesia secara exogenous.
Pada era Megawati Soekarno Putri, identitas kita adalah negara demokratis terbesar di dunia. Padahal selama enam puluh tanun masa mengisi kemerdekaan, kita tidak pernah menjadi bangsa yang benar-benar demokratis. Tidak ada kesadaran akan demokrasi di bangsa ini. kalaupun ada pemilu itu bukanlah ajang demokrasi melainkan ajang para elit untuk berebut peran dalam teater politik di negara ini. Apa daya realitas berkata lain, kondisi sistemik internasional mengharuskan kita untuk menjadi negara demokratis agar dapat menjadi contoh bagi negara-negara berkembang lainnya untuk memeluk demokrasi sebagai jalan hidup bernegara.
Namun perubahan struktur internasional terjadi. Penyerangan beruntun AS terhadap negara-negara mayoritas muslim menyebabkan bangkitnya fundamentalisme di negara-negara berpenduduk Muslim baik di Timur-Tengah sendiri maupun wilayah-wilayah lain di luar Timur-Tengah. Musuh utama AS bukan lagi negara non-demokratis melainkan fundamentalisme Islam. Pada Era SBY, identitas kita pun terpaksa berubah dari negara demokratis menjadi negara Muslim Moderat. Indonesia pun sekali lagi diproyeksikan menjadi contoh untuk negara mayoritas muslim lainnya terutama di Timur-Tengah dalam bagaimana seharusnya berislam. Sejak kapan kita menjadi negara muslim moderat. Adakah identitas tersebut sebelum terjadinya perubahan sistem internasional? Betapa rapuhnya identitas Keindonesiaan yang mesti berubah seiring perubahan konstelasi internasional yang ada. Anehnya pemerintah bangga menjadikannya sebagai atribut kita di kancah internasional.
Dari awal berdirinya, Bangsa ini tidak pernah benar-benar mendefinisikan identitasnya. Pada era Soekarno, Indonesia adalah apa yang dipikirkan beliau. Pada Era Soeharto, Indonesia adalah Jawa. Era pasca reformasi, Indonesia adalah apa yang dipersepsikan negara lain untuk kepentingan mereka. Lalu siapa kita? Bukan siapa-siapa.
Pada akhirnya bangsa ini hanya menjadi semacam a gestative political structure dari pada simply an allegory or imaginative vision. Franz Fanon telah memperingatkan kepada kita bahwa, bangsa, alih-alih merangkul harapan seluruh anak negeri, malah tak lain adalah tempurung kosong yang kasar dan parodi rapuh yang tak memiliki pemaknaan apa pun di dalamnya. Itukah kita?