Menuju Kesadaran Kritis dalam Praksis Beragama

Author: ICAL KARIM / Labels: ,


GLOBALICA by Wolfgang Wildner



GLOBALICA by Wolfgang Wildner

Menggunakan terminologi Paulo Freire, seorang pedagogis Brazil, setidaknya terdapat tiga model kesadaran yang mewarnai cara manusia berpraksis dalam masyarakatnya. Kesadaran pertama adalah kesadaran magis atau dalam beberapa konteks merupakan kesadaran tradisional yang bertendensi irasional. Kesadaran kedua adalah kesadaran naif yang muncul tatkala menyeruaknya semangat perjuangan yang dihasilkan bukan dari perenungan dan kritisisme dalam menafsirkan realitas yang dihadapi, namun dihasilkan melalui indoktrinasi searah yang tidak memberikan ruang dialogis bagi sebuah pencarian akan kebenaran. Ekstremnya, kesadaran naif dalam praksis beragama merupakan cikal bakal dari lahirnya fanatisme dan radikalisme beragama.

Kesadaran yang terakhir adalah kesadaran kritis yang merupakan kesadaran yang holistik dalam menafsirkan realitas yang ada. Kesadaran ini muncul dari hasil perenungan kritis atas sebuah realitas dengan menggunakan seluruh sumber daya yang dimiliki manusia baik itu kognisi maupun hati nurani. Dalam konteks membangun model keberagamaan di Indonesia, maka seyogyanya umat beragama berkonsensus untuk membangun kesadaran beragama yang berlandaskan spirit kesadaran kritis ini.

Namun realitas berkata lain. Modernitas yang diharapkan menjadi katalisator bagi tumbuh kembangnya kesadaran kritis ternyata tidak jua memunculkan kesadaran kritis, alih-alih, masyarakat modern malah lebih memilih berendam dalam kubangan kesadaran naif. Modernitas hanya mampu mengeluarkan manusia modern dari jurang kesadaran magis namun tidak mampu meletakkan kesadaran kritis dalam benak kolektif masyarakat pascatradisional.

Dengan kata lain modernitas telah gagal memberikan kesadaran kritis bagi kesadaran beragama masyarakat modern, lebih buruk lagi, modernitas malah semakin menyuburkan kesadaran naif dalam praksis keberagamaan masyarakat modern. Tak salah bila Karen Armstrong menganggap kondisi modernitas yang dipaksakan merupakan akar dari lahirnya fanatisme dan radikalisme dalam keberagamaan kaum modern.

Revivalisme kesadaran naif

Kebangkitan kaum fundamentalisme dalam hal keagamaan terutama di Indonesia menghentakkan kesadaran magis masyarakat tradisional. Dengan penggunaan rasio, kaum fundamentalis menggebu-gebu membuktikan kesalahan praksis beragama masyarakat tradisional. Namun penggunaan rasio tidak berlanjut pada tataran yang melahirkan kesadaran kritis. Pada titik dimana rasio telah berhasil menghancurkan kesadaran magis, rasio kemudian dikerangkeng dan diendapkan dalam selubung gelap otoritarianisme teks yang menjadi sang penguasa tunggal dalam kesadaran beragama. Dengan mensubordinasikan rasio dibawah tirani teks, kemunculan kesadaran naif dalam beragama tak dapat dielakkan.

Dampak paling kentara dengan munculnya kesadaran naif dalam praksis beragama adalah lebih seringnya para misionaris dan pendakwah berangkat dari pembangunan kesadaran beragama dari domain politik yang sarat akan tipu muslihat dan mencari pembenaran terhadap tata dunia yang terjadi serta menafsirkannya dalam usaha membangun kesadaran beragama. Kesadaran seperti ini cenderung menghasilkan pemahaman yang reduksionistis dan partikular dan pada titik ekstrem berujung pada pemahaman yang keliru dari inti sebuah ajaran agama.

Sebut saja sebuah permasalahan internasional yang kompleks dan sarat akan pertarungan kepentingan direduksi menjadi sesuatu yang mudah dikonsumsi awam dengan cara menafsirkan realitas kompleks tersebut ke dalam sebuah pemahaman yang naif dan tidak holistik namun mudah untuk dicerna. Pada akhirnya kesadaran beragama ditelikung menjadi kesadaran politis profan yang bertendensi sebagai alat politik dan propaganda kelompok tertentu yang mengatasnamakan otoritas ketuhanan.

Kesadaran naif yang merajalela dalam kesadaran beragama di Indonesia menyebabkan hilangnya praksis fleksibilitas dalam beragama dalam masyarakat plural Indonesia. Praksis-praksis fleksibilitas seperti toleransi dan saling menghormati sesama umat beragama semakin memudar dari wajah plural masyarakat Indonesia.

Dus, dapat disimpulkan bahwa kaum revivalisme dalam umat beragama masih berada pada domain revivalisme kesadaran naif dan hingga kini belum terlihat upaya-upaya membangun proyek revivalisme kesadaran kritis beragama. Sepertinya ada ketakutan dalam benak penyebar agama bahwa dengan munculnya kritisisme di umatnya maka akan menimbulkan keragu-raguan yang bisa menyebabkan hilangnya loyalitas dalam memenuhi perintah-perintah agama.

Menguatkan basis kritisisme beragama

Max Horkheimer pernah menyimpulkan bahwa masa depan kemanusiaan tergantung pada adanya sikap kritis dewasa ini. Dengan kata lain, kemanusiaan kita diukur dari sejauh mana masyarakat mempraktekkan kritisismenya dalam praksis bermasyarakat dan terlebih praksis beragama.

Tinimbang domain profan, penguatan kehadiran Agama seharusnya berada pada domain transendental yang dengan begitu akan langsung berefek pada domain profan. Penumbuhan kesadaran transendetal harus dijadikan proyek agama-agama untuk menjadikan agama menjadi suatu yang berwarna tidak sekedar hitam-putih. Tentu juga harus ada garis pembatas yang tegas antara domain profan dengan domain transendental dalam wilayah keberagamaan sehingga tidak terjadi penelikungan-penelikungan agama untuk kepentingan-kepentingan profan belaka.

Kesadaran beragama yang dimunculkan melalui pendekatan politis dan pendekatan yang mensimplifikasikan fenomena-fenomena sosial yang kompleks sudah saatnya ditinggalkan. Pendekatan-pendekatan seperti itu terbukti hanya menghasilkan kecacatan dalam kesadaran beragama kita.

Sudah saatnya, kaum beragama untuk tidak takut akan pemikiran kritis dalam kesadaran beragama. Kang Jalal dalam salah satu bukunya pernah menyatakan bahwa sebuah keyakinan yang didahului oleh keraguan terlebih dahulu maka akan menghasilkan keimanan yang mantap pada diri manusia tinimbang keyakinan yang tidak pernah teruji sedikitpun oleh tajamnya sikap kritis yang dimiliki manusia. Keimanan yang kedua ini adalah keimanan yang rapuh dan lemah dan hanya garang pada permukaannya saja.

Agama merupakan semesta transendental yang sarat akan pemaknaan dan penafsiran. Bila filsuf Kristen Hans Kung menyatakan bahwa no dialogue between religions without investigating the foundation of the religions. Maka dalam kasus keberagamaan di Indonesia, bukan fondasi agamanya yang menjadi akar dari permasalahan antar umat bergama namun kesadaran akan semesta transendental yang dicerap secara naif lah yang merupakan ujung pangkal dari krisis praksis beragama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.

Akhirnya, dengan menanamkan kesadaran kritis dalam praksis beragama dalam masyarakat, relasi antar umat bergama dapat mengarah kepada sesuatu yang bersifat konstruktif. Agama tidak lagi menjadi lokomotif bagi munculnya konflik dalam masyarakat tetapi menjadi Elan Vital bagi pembangunan spiritual bangsa yang sedang menghadapi berbagai cobaan dari Tuhan Yang Mahakuasa ini.