Pendidikan adalah praktik mewariskan pengetahuan dari generasi terdahulu kepada generasi selanjutnya. Pendidikan merupakan pengetahuan dalam mendefinisikan dunia realitas yang terhampar di depan kita. Pentingnya fungsi pendidikan membuat pendidikan menjadi alat kuasa dalam mengatur masyarakat. Tak salah bila di satu sisi, Gramsci menyatakan pendidikan adalah alat penting hegemoni negara melalui domination by consent, dan di sisi lain, Freire mengedepankan pentingnya pendidikan sebagai kunci sukses membuka kesadaran kritis masyarakat.
Bila kita menengok realitas pendidikan Indonesia, terlihat jelas bahwa praktik pendidikan di Indonesia beroperasi dalam kondisi yang masih bersifat kolonial. Pada tataran wacana, pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh wacana-wacana yang lahir dalam kesadaran akan merengkuh kebenaran mutlak. Hal ini terlihat dari fungsi pendidikan yang membentuk watak masyarakat yang membungkam versi kebenaran yang lain dari mayoritas yang disepakati benar.
Sedangkan pada tataran praksis, pendidikan di Indonesia tak dapat melayani rakyat kecil apalagi mencerdaskannya. Mirisnya lagi, pendidikan di Indonesia ternyata hanya melayani kaum berduit yang akan menjadi pintar untuk selanjutnya mengekploitasi rakyat kebanyakan yang bodoh. Inilah kenyataan pahit realitas pendidikan Indonesia. tak ayal lagi, pendidikan di Indonesia masih merupakan pendidikan kolonial.
Pendidikan Kolonial
Gayatri Spivak dalam esainya “the Burden of English” menegaskan adanya praktik-praktik pengajaran kolonial melalui pembentukan ideologi penjajah dalam pengajaran sastra Inggris di India. Tentu praktik-praktik tersebut terselubung dan tidak disadari oleh kebanyakan orang.
Kita tentu juga dapat melihat praktik-praktik tersebut dalam literatur-literatur pendidikan di Indonesia khususnya pada era Soeharto. Teks pelajaran Ekonomi hanya memuat keberhasilan pembangunan di Indonesia. Teks pelajaran Sejarah hanya menceritakan kehebatan rezim Orba. Teks-teks pelajaran lainnya pun tak terlepas dari praktik-praktik kolonial ini. Berbeda dengan di India, ideologi penjajah tersebut tak lain adalah rezim Orba. Spivak menyarankan agar setiap pembacaan terhadap sebuah teks harus dibaca secara kritis dengan diberi tanda kurung agar tidak terpeleset dalam teks ideologi kolonial.
Berkedok politik etis, pemerintah kolonial Belanda membangun sekolah-sekolah untuk bumiputera dengan tujuan menjadikan putra-putra Pribumi orang-orang yang terdidik. Namun pemerintah Belanda hanya membangun sekolah-sekolah yang mencetak individu-individu pekerja tanpa memiliki kesadaran kritis. Meminjam konsep Jurgen Habermas, Belanda menciptakan manusia-manusia dengan rasio instrumental dan bukan rasio kritis. Alhasil, individu-individu didikan Belanda berfungsi sebagai pegawai-pegawai rendahan Belanda.
Pandangan yang paling menggelitik dan mungkin paling esktrem mengenai pendidikan diutarakan oleh seseorang bernama Alan J. Bishop. Bishop menganggap ilmu matematika “Barat” merupakan senjata rahasia imperialisme kultural yang dilakukan oleh Barat. Selama ini kita beranggapan matematika merupakan ilmu pengetahuan universal tanpa sedikit pun melihat adanya intervensi kultural di dalamnya. Namun kenyataannya, matematika, layaknya ilmu sosial, merupakan humanly constructed. Bishop mencontohkan mengapa sistem penomoran matematis hanya sampai sepuluh bila pada saat yang bersamaan di Papua Nugini bisa mencapai 700’an? Mengapa kita sangat meyakini geometri Euclidean yang atomistik dan object-oriented bila pada saat yang bersamaan suku Navajos melihat ruang bukan sebagai objek solid melainkan sebagai ruang motion? Bishop berargumen bahwa matematika telah menjadi simbolisasi akan adanya universalisme yang kokoh dalam alam realitas, serta adanya value-free dalam pengetahuan. Kesemuanya mengarahkan kita untuk percaya akan adanya universalisme kebenaran.
Pendidikan Pascakolonial
Kita dapat menafsirkan kritik pedas Bishop terhadap Matematika ini dalam kerangka proyek penghancuran kebenaran mutlak dalam dunia pendidikan. Pendidikan sudah semestinya tidak diarahkan untuk mengkultuskan apa yang dipelajari sebagai suatu hal yang paling benar. Pendidikan merupakan transfer pengetahuan yang tidak mengklaim kebenaran melainkan hanya menceritakan narasi kebenaran partikular.
Harus ada semacam kesadaran bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang terus dikritik dan dikritik sehingga akhirnya pendidikan sebagai medium penumbuhan kesadaran kritis dapat terwujudkan. Ciri pendidikan kolonial yang selalu merasa benar sendiri dan selalu menghegemoni “yang lain”, dengan sendirinya terusir dari corak pendidikan di Indonesia. bila pendidikan di Indonesia masih bercirikan kolonial maka pendidikan hanya akan menjadi alat kekuasaan sekelompok orang tertentu yang haus kuasa. Pendidikan yang mengklaim otoritas kebenaran akhirnya akan menjadi sarana pembodohan paling efektif di Indonesia.
Meminjam istilah Homi K. Bhabha, pendidikan Indonesia sudah seharusnya menjadi ruang ambang liminal yang di dalamnya wacana akan terus saling melengkapi tanpa saling menaklukkan dan akan selalu berada pada keadaan ketidakmanunggalan. Kondisi ini menghasilkan pendidikan Indonesia yang tidak menghegemoni kearifan-kearifan lokal yang dipersepsikan sebagai musuh dari pengetahuan. Pendidikan di Indonesia harus dapat menciptakan hibriditas kebenaran dimana kebenaran tidak dianggap sebagai satu yang manunggal melainkan terpecah-pecah dalam serpihan pluralitas narasi minor kebenaran.
Dengan mendekonstruksi ruang bagi kebenaran mutlak, pendidikan di Indonesia tidak hanya sebatas transfer ilmu pengetahuan an sich, melainkan menjadi sebuah proses dinamisasi ke arah pembentukan otensitas (watak) generasi negeri ini di masa mendatang. Generasi muda tidak hanya disuapi oleh ilmu pengetahuan teknis (baik alam maupun sosial) yang menjadi roda untuk menjalankan tatanan status quo yang ada. Sebaliknya, generasi muda dapat terus melakukan problematizing terhadap tatanan yang ada dengan mengkritisi pengetahuan yang ia dapatkan tanpa takut untuk dicap tidak berpendidikan, tidak beragama atau bahkan gila. Inilah ciri pendidikan pascakolonial. Pendidikan yang tidak terjajah oleh Barat, tidak terjajah oleh segelintir penguasa, pun dalam beberapa hal juga tidak terjajah oleh doktrin sempit agama.
Mungkinkah kita dapat mewujudkan pendidikan pascakolonial di Indonesia? Jawabannya terletak pada intelektual-intelektual serta pendidik-pendidik Indonesia. Apakah mereka sudah siap untuk memasuki tahap pendidikan pascakolonial atau malah sebaliknya.
Bila kita menengok realitas pendidikan Indonesia, terlihat jelas bahwa praktik pendidikan di Indonesia beroperasi dalam kondisi yang masih bersifat kolonial. Pada tataran wacana, pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh wacana-wacana yang lahir dalam kesadaran akan merengkuh kebenaran mutlak. Hal ini terlihat dari fungsi pendidikan yang membentuk watak masyarakat yang membungkam versi kebenaran yang lain dari mayoritas yang disepakati benar.
Sedangkan pada tataran praksis, pendidikan di Indonesia tak dapat melayani rakyat kecil apalagi mencerdaskannya. Mirisnya lagi, pendidikan di Indonesia ternyata hanya melayani kaum berduit yang akan menjadi pintar untuk selanjutnya mengekploitasi rakyat kebanyakan yang bodoh. Inilah kenyataan pahit realitas pendidikan Indonesia. tak ayal lagi, pendidikan di Indonesia masih merupakan pendidikan kolonial.
Pendidikan Kolonial
Gayatri Spivak dalam esainya “the Burden of English” menegaskan adanya praktik-praktik pengajaran kolonial melalui pembentukan ideologi penjajah dalam pengajaran sastra Inggris di India. Tentu praktik-praktik tersebut terselubung dan tidak disadari oleh kebanyakan orang.
Kita tentu juga dapat melihat praktik-praktik tersebut dalam literatur-literatur pendidikan di Indonesia khususnya pada era Soeharto. Teks pelajaran Ekonomi hanya memuat keberhasilan pembangunan di Indonesia. Teks pelajaran Sejarah hanya menceritakan kehebatan rezim Orba. Teks-teks pelajaran lainnya pun tak terlepas dari praktik-praktik kolonial ini. Berbeda dengan di India, ideologi penjajah tersebut tak lain adalah rezim Orba. Spivak menyarankan agar setiap pembacaan terhadap sebuah teks harus dibaca secara kritis dengan diberi tanda kurung agar tidak terpeleset dalam teks ideologi kolonial.
Berkedok politik etis, pemerintah kolonial Belanda membangun sekolah-sekolah untuk bumiputera dengan tujuan menjadikan putra-putra Pribumi orang-orang yang terdidik. Namun pemerintah Belanda hanya membangun sekolah-sekolah yang mencetak individu-individu pekerja tanpa memiliki kesadaran kritis. Meminjam konsep Jurgen Habermas, Belanda menciptakan manusia-manusia dengan rasio instrumental dan bukan rasio kritis. Alhasil, individu-individu didikan Belanda berfungsi sebagai pegawai-pegawai rendahan Belanda.
Pandangan yang paling menggelitik dan mungkin paling esktrem mengenai pendidikan diutarakan oleh seseorang bernama Alan J. Bishop. Bishop menganggap ilmu matematika “Barat” merupakan senjata rahasia imperialisme kultural yang dilakukan oleh Barat. Selama ini kita beranggapan matematika merupakan ilmu pengetahuan universal tanpa sedikit pun melihat adanya intervensi kultural di dalamnya. Namun kenyataannya, matematika, layaknya ilmu sosial, merupakan humanly constructed. Bishop mencontohkan mengapa sistem penomoran matematis hanya sampai sepuluh bila pada saat yang bersamaan di Papua Nugini bisa mencapai 700’an? Mengapa kita sangat meyakini geometri Euclidean yang atomistik dan object-oriented bila pada saat yang bersamaan suku Navajos melihat ruang bukan sebagai objek solid melainkan sebagai ruang motion? Bishop berargumen bahwa matematika telah menjadi simbolisasi akan adanya universalisme yang kokoh dalam alam realitas, serta adanya value-free dalam pengetahuan. Kesemuanya mengarahkan kita untuk percaya akan adanya universalisme kebenaran.
Pendidikan Pascakolonial
Kita dapat menafsirkan kritik pedas Bishop terhadap Matematika ini dalam kerangka proyek penghancuran kebenaran mutlak dalam dunia pendidikan. Pendidikan sudah semestinya tidak diarahkan untuk mengkultuskan apa yang dipelajari sebagai suatu hal yang paling benar. Pendidikan merupakan transfer pengetahuan yang tidak mengklaim kebenaran melainkan hanya menceritakan narasi kebenaran partikular.
Harus ada semacam kesadaran bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang terus dikritik dan dikritik sehingga akhirnya pendidikan sebagai medium penumbuhan kesadaran kritis dapat terwujudkan. Ciri pendidikan kolonial yang selalu merasa benar sendiri dan selalu menghegemoni “yang lain”, dengan sendirinya terusir dari corak pendidikan di Indonesia. bila pendidikan di Indonesia masih bercirikan kolonial maka pendidikan hanya akan menjadi alat kekuasaan sekelompok orang tertentu yang haus kuasa. Pendidikan yang mengklaim otoritas kebenaran akhirnya akan menjadi sarana pembodohan paling efektif di Indonesia.
Meminjam istilah Homi K. Bhabha, pendidikan Indonesia sudah seharusnya menjadi ruang ambang liminal yang di dalamnya wacana akan terus saling melengkapi tanpa saling menaklukkan dan akan selalu berada pada keadaan ketidakmanunggalan. Kondisi ini menghasilkan pendidikan Indonesia yang tidak menghegemoni kearifan-kearifan lokal yang dipersepsikan sebagai musuh dari pengetahuan. Pendidikan di Indonesia harus dapat menciptakan hibriditas kebenaran dimana kebenaran tidak dianggap sebagai satu yang manunggal melainkan terpecah-pecah dalam serpihan pluralitas narasi minor kebenaran.
Dengan mendekonstruksi ruang bagi kebenaran mutlak, pendidikan di Indonesia tidak hanya sebatas transfer ilmu pengetahuan an sich, melainkan menjadi sebuah proses dinamisasi ke arah pembentukan otensitas (watak) generasi negeri ini di masa mendatang. Generasi muda tidak hanya disuapi oleh ilmu pengetahuan teknis (baik alam maupun sosial) yang menjadi roda untuk menjalankan tatanan status quo yang ada. Sebaliknya, generasi muda dapat terus melakukan problematizing terhadap tatanan yang ada dengan mengkritisi pengetahuan yang ia dapatkan tanpa takut untuk dicap tidak berpendidikan, tidak beragama atau bahkan gila. Inilah ciri pendidikan pascakolonial. Pendidikan yang tidak terjajah oleh Barat, tidak terjajah oleh segelintir penguasa, pun dalam beberapa hal juga tidak terjajah oleh doktrin sempit agama.
Mungkinkah kita dapat mewujudkan pendidikan pascakolonial di Indonesia? Jawabannya terletak pada intelektual-intelektual serta pendidik-pendidik Indonesia. Apakah mereka sudah siap untuk memasuki tahap pendidikan pascakolonial atau malah sebaliknya.