Melawan Narasi Besar Islam Ideologis

Author: ICAL KARIM / Labels: , ,

Dewasa ini Umat Islam Indonesia sedang mengalami dekulturalisasi atas agamanya. Islam terlepas dari konteks ruang dan waktu dimana dia berada, dan hal ini akhirnya berujung pada terasingnya Islam dari pemeluknya. Dan anehnya dengan sadar maupun tidak, umat Islam-lah yang memegang peranan penting dalam melakukan dekulturalisasi Islam tersebut.

Keunikan daripada agama Islam adalah pada mudahnya Islam berinteraksi dengan berbagai macam kebudayaan yang ada sehingga menghasilkan karakteristik Islam yang unik sesuai dengan karakteristrik masyarakat dimana Islam bertumbuh kembang. Islam, tidak seperti yang disebutkan para orientalis, tidaklah disebarkan melalui pedang dan kekerasan melainkan melalui komunikasi dialogikal, dan juga tidak dalam sebuah struktur penguasaan (hegemoni) melainkan kesejajaran. Hal ini menghasilkan sebuah perkawinan yang sempurna antara Islam dan kultur pribumi yang ada. Dengan kata lain, Islamisasi yang dulu pernah terjadi di Indonesia adalah proses interaksi dan bukan proses penaklukkan sebagaimana biasanya sebuah agama disebarkan.

Namun semua itu berubah tatkala muncul Islam Ideologis yang muncul akibat tekanan modernitas yang diimpor dari negara-negara Timur-Tengah ke Indonesia. Saat pertumbuhan Islam Ideologis ini mengalami eskalasi di Indonesia, terjadi dekulturalisasi besar-besaran terhadap Islam yang telah harmonis dengan budaya pribumi, dan hal ini berakibat kepada adanya usaha-usaha mencerabut kembali Islam yang telah tertanam dalam budaya-budaya pribumi yang ada di Indonesia. Terjadi proses dikotomi diametral antara Islam dan kultur pribumi dimana seolah-olah keduanya bagaikan air dan minyak. Tak dapat disatukan.

Islam Ideologis merupakan sebuah bentuk penafsiran yang membuat Islam menjadi rigid, statis dan Jumud. Islam ideologis telah mereduksi Islam dari sebuah agama menjadi sekedar sebuah gerakan sosial-politik belaka. Islam ideologis menafikan konteks budaya dan masyarakat Islam yang berbeda-beda di setiap tempat dan menjadikan Islam yang multidimensional menjadi satu dimensi saja yaitu politik praktis yang termainfestasikan dalam bentuk aturan-aturan syari’at.

Totalisasi narasi Islam

Michael Foucault (listyono dkk:2006) menyatakan bahwa total history adalah sebuah usaha untuk menggambarkan semua fenomena di sekitar titik pusat yang tunggal, sedangkan general history sebaliknya berbicara tentang seri-seri segmentasi-segmentasi, batas-batas, perbedaan-perbedaan tingkatan, time lags, anakronistis-anakronistis dan kemungkinan jenis-jenis relasi. Dan selalu saja ada relasi kekuasaan (penguasa dan yang dikuasai) dengan sejarah karena sejarah lebih memiliki bentuk sebuah perang daripada sebua bahasa dan lebih memiliki hubungan-hubungan pemaknaan daripada hubungan-hubungan pemaknaan

Nah bila kita lihat dewasa ini, ada upaya-upaya yang nyata untuk menotalisasikan narasi-narasi sejarah Islam dan menafikan narasi-narasi kecil sejarah umat Islam khususnya Indonesia. Sejarah Islam yang selalu didengung-dengungkan kepada kita adalah sejarah kekhalifahan Islam di timur-tengah, sejarah mengenai perang salib, dan sejarah mengenai kehancuran daulah Utsmaniyah di Turki. Seolah-olah hanya itulah narasi Islam yang ada dan narasi Islam yang seperti itu terus diupayakan untuk mejadi titik sentral sejarah umat islam. Parahnya lagi narasi besar Islam itu membawa satu nilai budaya yang sifatnya parsial yaitu budaya Arab. Dan narasi inilah yang selalu dida’wahkan dan ditotalkan sebagai satu-satunya narasi Islam yang ada, keadaan ini membuat narasi-narasi kecil Islam yang ada mengalami proses marjinalisasi. Narasi-narasi kecil Islam kultural yang merupakan hasil dialektika antara Islamisasi dan indeginisasi dipinggirkan dari pusat dengan dibid’ahkan disesatkan dan bahkan dikafirkan oleh logika tafsir otoritatif sepihak. Padahal narasi sejarah Islam tidak hanya itu-itu saja. Terdapat berbagai narasi-narasi kecil Islam dalam setiap kebudayaan pribumi. Ada narasi Islam Kajang, Islam Jawa, Islam Ambon, Islam Makassa dan lain-lainya yang tersebar di seluruh kebudayaan. Di sini terjadi sebuah hegemoni narasi besar Islam ideologis melalui pemaknaan sejarah terhadap Islam-Islam kultural yang memiliki narasi sejarah yang berbeda dan unik.

Proyek-proyek utama narasi besar (Grand narrative) Islam Ideologis untuk memarjinalkan narasi-narasi kecil Islam Kultural adalah yang pertama dengan cara demistifikasi Islam. Proyek demistifikasi islam ini berujung pada keinginan untuk merasionalisasikan Islam. Padahal agama, sebagaimana yang dikemukakan oleh karen Armstrong (Armstrong 2002:XVIII), memiliki dua buah sisi, sisi yang pertama adalah sisi mitos dan yang kedua adalah sisi logos. Dengan mitos, sebuah agama dapat lebih menghayati dan menerima sebuah nilai spritualitas yang sifatnya abadi dan transendental, mitos biasanya terejawantahkan dalam bentuk-bentuk ritualisme. Sisi yang lain, logos, lebih bertujuan praksis dan terapan seperti aturan syari’ah, dan politik yang bersifat temporer. Dengan demistifikasi, Islam hanya menjadi sebuah alat untuk tujuan-tujuan praktis teknis seperti yang kita lihat eskalasinya di Indonesia dalam bentuk semakin maraknya perda-perda syari’at dan UU yang berbau syari’at tanpa adanya tempat bagi ekpresi keberagamaan kultural.

Yang kedua adalah depribumisasi Islam. Dibalik narasi besar Islam Ideologi secara ekplisit terdapat sebuah meta-narasi yang membangunnya yaitu narasi budaya Arab, oleh sebab itu proyek kedua narasi besar Islam Ideologis adalah depribumisasi Islam. Dengan begitu, berbarengan dengan proses ideologisasi Islam, maka seiring pula berlangsungnya arabisasi pribumi dengan mencabut akar-akar kultur pribumi dalam Islam. Tak heran bila Islam akhirnya identik dengan kata-kata Arab seperti ana, antum, ikhwan, akhwat, afwan, dll. Terlepas dari usaha counter-hegemony yang ingin dilakukan kalangan Islam Ideologis terhadap hegemoni budaya Barat yang brutal terhadap umat Islam, Islam Ideologis pun telah melakukan hegemoni baru bagi Islam-Islam Kultural yang dengan adanya proyek ini menjadi termarjinalkan dan terpinggirkan.

Perjuangan Islam kultural dalam menghadapi hegemoni narasi besar Islam Ideologis haruslah dilihat dalam sebuah kerangka berpikir yang emansipatoris, bahwa Islam Kultural pun berhak hidup dalam sebuah dunia dimana, seperti yang dinyatakan Michel Foucault, tidak ada Sejarah dengan ”S” besar, yang ada hanyalah sejarah-sejarah dengan ”s” kecil. Kerangka berpikir seperti ini menghasilkan sebuah keberagamaan yang lebih terbuka, tanpa prasangka dan tanpa adanya semangat kepemilikan mutlak narasi-narasi kebenaran.

Dengan diberikannya ruang bagi Islam kultural untuk hidup di bumi indonesia ini, artinya masih ada harapan akan adanya ruang untuk berekperimen dalam hal beragama sesuai dengan konteks kultural dalam masyarakat yang Islam menjadi agama dominan disana tanpa harus meninggalkan narasi-narasi kecil kultural masyarakat itu yang telah ada lama sebelum Islam datang. Dengan begitu Islam Indonesia kelak dapat menjadi contoh sebuah akulturasi yang sinergis antara narasi Islam dan narasi kultural pribumi. tanpa ada laginarasi besar yang menghegemoni, yang ada hanyalah, mengutip pernyataan Jurgen Habermas, dialog setara tanpa adanya kepentingan untuk menghegemoni pihak lain dan berusaha menghilangkan pihak lain tersebut.